Jakarta – Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute (TII) Nuri Resti Chayyani menilai Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyepelekan sosialisasi kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo. Makanya, muncul selisih paham dengan pelaku wisata lokal.
Labuan Bajo mencekam dengan adanya bentrokan pelaku wisata lokal dan aparat pada Selasa (2/8/2022). Penyebabnya, pelaku wisata lokal menentang penerapan tarif baru masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar serta perairan sekitarnya senilai Rp 3,75 juta.
Para pelaku wisata juga menilai penerapan tarif baru ke Pulau Komodo dan Pulau Padar yang disertai pemesanan tiket secara online adalah bentuk monopoli wisata oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Flobamor.
Pelaku wisata pun mogok melayani wisatawan pada tanggal 1 hingga 3 Agustus. Mereka bersepakat untuk menyetop layanan wisata selama sebulan penuh pada Agustus.
Sementara itu, Taman Nasional Komodo menyebut penerapan tarif baru senilai Rp 3,75 juta per orang yang berlaku selama satu tahun merupakan biaya kontribusi untuk program konservasi Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Kawasan Perairan Sekitarnya, bukan sekedar harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo.
Hasil riset Tim Ahli Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Universitas Nusa Cendana Kupang menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar dan perlu adanya pembatasan pengunjung menjadi 200 ribu orang per tahun yang semula 300 ribu hingga 400 ribu orang per tahun.
Tak kalah penting, riset juga menghitung biaya yang dibutuhkan untuk konservasi di kedua pulau tersebut yaitu sekitar Rp 2,9 juta sampai Rp 5,8 juta per orang.
Nuri menilai meskipun ketentuan tarif baru ke Pulau Komodo tersebut merupakan keputusan berlandaskan penelitian ilmiah serta mengedepankan keberlangsungan sumber daya alam (SDA) melalui konservasi, peningkatan tarif diprediksi menurunkan tingkat kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
“Setelah pertimbangan akademik dilakukan, dibutuhkan waktu untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat,” kata Nuri dalam keterangan resmi di Jakarta, dan dikutip dari Antara, Kamis (4/8/2022).
Nuri menyarankan agar Pemprov NTT segera melakukan sosialisasi alasan kenaikan tarif masuk Pulau Komodo seperti akan adanya pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, pengamanan, monitoring kawasan komodo, penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, hingga biaya petugas kesehatan.
“Komunikasi publik adalah hal yang penting sebelum menerapkan kebijakan agar tidak menimbulkan dampak kepada pelaku pariwisata akibat kenaikan tarif,” ungkapnya.
Menurut dia, pemberlakuan satu harga akan memberikan eksternalitas negatif pada pasar dan akan memonopoli ekosistem wisata Taman Nasional Komodo terutama pada pelaku wisata, di antaranya penurunan okupansi hotel, penurunan omzet UMKM setempat, dan hilangnya pekerjaan masyarakat yang bergantung pada wisata.
Konsultasi dan pelibatan para pemangku kepentingan terkait, termasuk pelaku wisata, juga penting dilakukan untuk mendapatkan dukungan kebijakan dan mengingat dampak kebijakan tersebut terhadap ekosistem dunia pariwisata.
“Dengan demikian, penerapan kebijakan ini juga harus direncanakan secara matang oleh pemerintah dan diterapkan dengan prinsip tata kelola yang baik, termasuk dalam aspek inklusi dan partisipasi dalam proses kebijakannya,” kata Nuri.
Jika disimak, penerapan tiket satu harga ke Pulau Komodo dan Pulau Padar memang terkesan terburu-buru. Tim Penguatan Fungsi Taman Nasional Komodo dan KLH menyosialisasikan hasil kajian konservasi di pulau itu pada awal Juli. Itu dilakukan ke sejumlah media.
Bahkan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (kemenparekraf) mengetahui rencana itu belakangan. Kepada media, Menparekraf menyebut belum ada pembicaraan tingkat kementerian kendati Tim Penguatan Fungsi Taman Nasional Komodo dan KLH mengumumkan hasil kajian di Labuan Bajo itu.