Tahun baru 2015 sudah beberapa hari kita jalani. Tahun 2015 dalam konteks kesepakatan pembangunan global mempunyai arti penting. Tahun 2015 adalah tahun akhir yang disepakati untuk mencapai semua Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs). Seperti yang kita ketahui bahwa pada hakikatnya MDGs adalah juga tujuan negara kesatuan Republik Indonesia untuk mensejahterakan masyarakatnya. Perbedaannya hanya terletak pada jangka waktu yang ditetapkannya, yaitu dari 1990-2015 dan dengan beberapa indikator target.
Pertanyaannya kemudian, apakah di tahun 2015 ini semua tujuan MDGs sudah tercapai? Bagaimana dengan Indonesia? Terkait ini memang belum ada data resmi yang dirilis pemerintah. Namun, paparan data dari beberapa indikator pencapaian MDGs sudah menunjukkan pada kita bahwa belum semua dari tujuan-tujuan tersebut belum tercapai.
Per 2013, capaian tujuan MDGs di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, tujuan yang berhasil dicapai; kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan bermakna dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun 2015; ketiga, tujuan yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya (Moeloek,2013).
Untuk tujuan MDGs yang berhasil tercapai diantaranya MDG-1 yaitu penurunan angka kemiskinan dari 15,10 persen (1990) menjadi 12,49 persen (2011) dan MDG-3 yaitu rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun telah mencapai 99,95 persen pada 2011.
Sedangkan untuk tujuan MDGs yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on-track) adalah seperti MDG-2 yaitu proporsi murid kelas satu yang berhasil menamatkan sekolah dasar dan MDG-4 yaitu penurunan yang sudah mendekati dua pertiga angka kematian neonatal atau pasca persalinan dan proporsi anak satu tahun yang mendapat imunisasi campak mengalami peningkatan signifikan.
Kemudian, masih ada tiga rapor merah pada pencapaian MDGs di Indonesia yaitu kemiskinan, HIV/AIDS dan angka kematian ibu yang masih tinggi. Ini kemudian menjadi tantangan dalam pencapaian MDGs di Indonesia.
Dari paparan data di atas, beberapa hal yang kita bisa lihat adalah misalnya dari tujuan yang dianggap tercapai. Meskipun misalnya angka kemiskinan menurun secara statistik namun sebagaimana yang kita ketahui angka ketimpangan antara yang miskin dan kaya semakin tinggi. Kemudian dari acuan pemerintah dalam menetapkan garis kemiskinan adalah Rp 7.000 / hari tidak tepat, karena banyak penduduk yang berpendapatan di atas itu juga tidak bisa memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya.Variabel ini yang kemudian tak tercatat dan dianalisa dengan baik oleh pemerintah.
Menurut penulis, tantangan yang kita hadapi dalam pencapaian MDGs ini memang cukup banyak, salah satunya adalah kurangnya komitmen penganggaran untuk program-program yang terkait ke pencapaian MDGs ini. Pada pengalokasian dari APBN itu sendiri, dimana antara 60-80% nya adalah untuk anggaran rutin, membayar gaji pegawai negeri sipil. Hal ini menunjukkan bahwa, APBN masih pro birokrasi, pro elit yang jumlahnya 3 juta orang lebih atau tidak sampai 3 % dari seluruh rakyat Indonesia. Belum lagi dengan kebocoran anggaran karena praktek korupsi di semua stakeholder (eksekutif, yudikatif dan legislatif) Data dari kemendagri, 155 bupati dan ada hampir 50 orang anggota DPR jadi tersangka korupsi per 2011 lalu.
Berkaca dari berbagai tantangan pencapaian MDGs ini dan menilik berbagai komitmen global yang sedang disusun untuk Pembangunan Paska MDGs ini, maka hendaklah pemerintah dalam mengimplementasikan semua komitmen pembangunan global harus mempersiapkan terlebih dahulu kesolidan antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Artinya semua pihak mengambil dan diberi peran aktif dalam mencapai target-target pembangunan tersebut dan yang utama adalah pemerintah dan masyarakat kemudian tidak bekerja sendiri-sendiri namun berkolaborasi.
Hanya dengan begitulah semua komitmen pembangunan baik global maupun yang disusun dalam tingkatan domestik Indonesia, bisa menemui tujuannya. Kalau tidak, hanya akan mengulangi kegagalan-kegagalan pencapaian target pembangunan dan itu artinya tujuan bernegara untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia masih akan tetap menjadi sebuah utopia!!
Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com