Sudah Tepatkah Program JHT Sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan?

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Republik Indonesia berencana untuk mengembalikan fungsi Jaminan Hari Tua (JHT) sebagaimana mestinya. Sesuai dengan akronimnya, program tersebut diperuntukkan bagi peserta yang sudah memasuki usia pensiun atau sudah tidak produktif kembali. Sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 yang baru akan diluncurkan, JHT dapat diklaim secara keseluruhan apabila peserta mengalami cacat total, meninggal dunia, atau sudah memasuki usia 56 tahun.

Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 terkait dengan tata cara pencarian manfaat JHT mendapatkan penolakan setelah diubah. Penolakan tersebut dikarenakan JHT yang semula dapat diambil manfaatnya satu bulan setelah surat pemberhentian kerja, hanya dapat diambil bertahap dan dapat diambil sepenuhnya ketika memasuki usia 56 tahun. Selain itu, JHT juga dapat diambil sepenuhnya apabila peserta iuran mengalami cacat total karena bekerja dan/atau pekerja meninggal dunia.

Timboel Siregar, Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch, pada diskusi The Indonesian Forum (TIF) Seri 83 yang diselenggarakan The Indonesian Institute (TII) pada hari Kamis (24/2/2022), menyatakan bahwa pengembalian JHT sebagaimana singkatannya adalah upaya pemerintah untuk melindungi pekerja ketika lansia. Dapat dilihat dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2019, jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas atau lansia di Indonesia mencapai 25,7 juta orang atau sekitar 9,6 persen dari populasi penduduk. Dikuatkan lagi dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah lansia diperkirakan akan meningkat sebesar 10 persen, dan pada tahun 2024 akan meningkat menjadi 20 persen. Untuk itu, perlu ada program yang benar-benar memperhatikan pekerja di hari tuanya agar tidak terperangkap dalam jurang kemiskinan.

Di sisi lain, asosiasi buruh seperti Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Tangerang Selatan, juga Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menolak perubahan peraturan tersebut karena dirasa merugikan dan tidak diberikan kebebasan untuk mengelola uangnya sendiri.

Peluncuran peraturan dinilai tidak memperhatikan kondisi riil seperti keadaan pandemi sekarang ini. JHT yang dapat dicairkan dengan waktu yang singkat, semestinya dapat digunakan para pekerja untuk melanjutkan hidup selama masa tunggu sebelum bekerja di perusahaan selanjutnya.

Banyak pilihan yang dapat dilakukan oleh para pekerja seperti pembukaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) atau sekedar untuk memenuhi kewajiban sehari-hari. Apabila JHT hanya dapat dicairkan dengan syarat usia dan waktu, maka secara tidak langsung pemerintah memiskinkan pekerja di usia muda karena tidak membebaskan perekonomian rumah tangga masing-masing.

Walaupun pemerintah menggantikan JHT dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun program tersebut hanya dapat diperoleh untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).  Faktanya, data BPS tahun 2020 mencatat bahwa dari sekitar 15 juta orang yang kehilangan pekerjaan, hanya 13,13 persen yang menjadi korban PHK. Ada 14,35 persen pekerja yang habis kontrak dan berhenti bekerja karena alasan lain. Sehingga, tidak semua pekerja memperoleh manfaat JKP sedangkan pekerja sewaktu-waktu dapat mendapatkan pemberhentian secara sepihak.

Pemerintah masih berupaya meyakinkan bahwa pengelolaan uang milik pekerja terjamin dengan menempatkannya pada beberapa pasar uang. Kemenaker menyebutkan realisasi dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp553,5 triliun pada tahun 2021 dan mengalami peningkatan semenjak tahun 2016.

Upaya pengelolaan besarnya investasi tersebut mayoritas ditempatkan pada surat utang sebesar 63 persen. Kemudian, 19 persen ditempatkan di deposito, 11 persen di saham, 6,5 persen di reksadana, dan 0,5 persen ditempatkan di investasi langsung. Tujuan pembagian investasi tersebut juga untuk miningkatkan nilai iuran peserta agar ketika diambil, tidak merugi bahkan memperoleh manfaat yang besar.

Apa yang dilakukan pemerintah memang sudah baik yaitu dengan memikirkan imbal hasil kepada pekerja atas pendapatan mereka. Namun, akan menjadi sia-sia apabila pekerja tidak dibekali pengetahuan tentang keuangan yang memadai. Kementerian Ketenagakerjaan perlu lebih menyederhanakan bahasa dalam sosialisasi Permenaker Nomor 2 tahun 2022. Keterlibatan beragam pihak, termasuk asosiasi pekerja juga sangat penting, untuk mendukung kebijakan ini.

Bila perlu, Kementerian Keuangan juga ikut serta dalam meningkatkan literasi keuangan kepada masyarakat. Hal tersebut dapat berupa sosialisasi pengelolaan take-home pay agar manfaat program seperti JHT dan jaminan kesejahteraan secara finansial hingga usia lansia dapat dipahami dengan baik oleh pemangku kepentingan terkait.

Tak kalah penting, apabila masyarakat sudah memiliki literasi keuangan yang baik, BPJS Ketenagakerjaan dapat meningkatkan kepercayaan publik dengan menempatkan investasi iuran pekerja di surat utang, deposito, maupun saham, serta investasi yang tepat. Sehingga, imbal hasil yang diperoleh pekerja maupun negara untuk pembangunan dapat terwujud secara maksimal.

Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi – The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nurirestic@theindonesianinstitute.com

Komentar