Setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Penetapan ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional. Jika ditilik dari sejarahnya, tanggal 25 November juga adalah hari kelahiran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Tak bisa disanggah, bahwa guru adalah faktor kunci keberhasilan sebuah sistem pendidikan. Dan sistem pendidikan itu sendiri, secara ringkas bisa dikatakan adalah bertujuan untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia tangguh yang mampu bersaing di era globalisasi yang kompetitif seperti sekarang ini.
Oleh karena itu maka peran guru tidaklah hanya mengajar, dan ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Melihat kuatnya peranan guru, penting bagi pemerintah untuk menaruh perhatian lebih besar pada guru. Pemerintah perlu menyusun kebijakan untuk, bukan hanya menambah jumlah guru, tetapi juga meningkatkan kualitas para guru.
Salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru yaitu dengan program sertifikasi guru. Pada UU No. 14/2005 tersebut termaktub bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Beberapa ahli berpendapat bahwa sertifikasi guru adalah suatu proses pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi.
Banyak perdebatan muncul terkait kebijakan sertifikasi guru ini. Mulai dari sistem sertifikasi itu sendiri yang melihat portofolio guru hingga capaian sejak dimulainya kebijakan ini 2007 lalu, termasuk jumlah dana yang digelontorkan. Misalnya insentif untuk guru yang bersertifikasi yang bisa mencapai dana 80 triliun per tahunnya. Belum untuk proses sertifikasinya yang misalnya di tahun 2006 itu sebesar 62,55 miliar.
Dana besar itu apakah kemudian paralel dengan tujuan kebijakan tersebut dibuat? Tampaknya belum. Untuk 2012, data menunjukkan hasil test uji kompetensi guru yang dilaksanakan oleh kurang lebih 381 Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), masih rendah. Dengan rentang penilaian antara 0 sampai dengan 100, guru yang berstatus pegawai negeri sipil mendapat nilai 45.7, guru paruh waktu di sekolah swasta mendapat nilai 48.1 dan guru penuh waktu di sekolah swasta mendapatkan nilai 51.5.
Dari paparan nilai di atas, bisa kita lihat dua hal. Pertama, kompetensi guru Indonesia, yang berjumlah kurang lebih 3 juta guru masih di dalam kategori rendah. Guru di sekolah negeri maupun swasta. Catatan kedua, nilai guru di sekolah negeri yang berstatus pegawai negeri sipil lebih rendah dari guru paruh waktu maupun penuh waktu di sekolah-sekolah swasta. Ini menjadi catatan juga bagi pengelolaan sekolah-sekolah negeri di Indonesia.
Perlu kiranya kesepahaman bahwa kebijakan sertifikasi guru bukanlah aktifitas terakhir, tapi adalah langkah awal untuk memastikan sistem pendidikan berjalan baik dan di jalur yang tepat untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang hebat. Artinya, pemerintah bukan hanya bertugas hingga proses sertifikasi guru selesai dilaksanakan dan memberikan insentif ke para guru. Namun memastikan dampak baik dari kebijakan sertifikasi itu adalah yang lebih penting.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, lola@theindonesianinstitute.com