Sebuah Tilikan: Soeharto dalam Daftar Pahlawan Nasional?

Setiap tahun, Kementerian Sosial dengan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) melakukan proses pengusulan tokoh yang layak diberikan gelar Pahlawan Nasional oleh negara. Pada tahun 2023, tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2023 adalah Ida Dewa Agung Jambe (Bali), Bataha Santiago (Sulawesi Utara), Mohammad Tabrani (Jawa Timur), Ratu Kalinyamat (Jawa tengah), K. H. Abdul Chalim (Jawa Barat), dan K. H. Ahmad Hanafiah (Lampung).

Untuk tahun 2024, seharusnya juga dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya yang seringnya bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional. Namun, pemberian gelar ini tidak juga dilaksanakan lantaran satu dan lain hal seperti menunggu kepulangan Presiden Prabowo dari dinasnya, dan lain sebagainya (antaranews.com, 3/12/2024; kompas.com, 8/11/2024; inews.id, 8/11/2024).

Maka dari itu, proses penunjukan Pahlawan Nasional diselenggarakan hingga tahun 2025 ini. Pada tanggal tulisan ini dibuat, yaitu 11 April 2025, merupakan tanggal terakhir pengusulan tokoh yang akan diproses untuk tahapan verifikasi pencalonan tokoh Pahlawan Nasional dan seterusnya hingga diberikannya gelar.

Namun, ada nama yang menarik masuk dalam daftar usulan Pahlawan Nasional di tahun ini, yaitu Jenderal Soeharto (Jawa Tengah), yang adalah Mantan Presiden Republik Indonesia yang menjabat selama 31 tahun 2 bulan, melebihi presiden lainnya di Indonesia.

Pencalonan Soeharto dalam daftar Pahlawan Nasional sudah berlangsung sejak sebelum tahun 2024 dan selalu menimbulkan kontroversi. Mengetahui rekam jejak Soeharto yang terkenal penuh dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tentu hal ini menjadi catatan merah untuk mengeluarkan nama ini dari daftar.

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) sudah kembali menyurati Kementerian Sosial. Surat ini berisi penolakan GEMAS atas penunjukan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional karena pengalamannya melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil, pelanggaran HAM berat, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik KKN (kontras.org, 10/4/2025).

Di sisi lain, Jenderal Soeharto terkenal sebagai ”Bunga Pertempuran”, julukan yang diberikan oleh Jenderal Soedirman atas peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 (Pribadi, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa Soeharto memiliki sumbangsih yang besar di dunia militer dan tidak bisa didiskreditkan.

Namun, gelar Pahlawan Nasional tidak bisa hanya menilai kehidupan dari satu sisi, melainkan harus secara keseluruhan. Terlebih, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Jasa Soeharto di bidang militer tentu harus dinilai bersamaan dengan serangkaian tindakan represif dan kesewenang-wenangan yang dilakukan saat menjadi presiden, juga sebaliknya. Walaupun tidak ada manusia yang sempurna dalam hidupnya, secara obyektif, tentu Kementerian Sosial, TP2GP, dan nantinya Presiden Prabowo sendiri, seharusnya bisa menilai dampak yang disebabkan Pemerintahan Soeharto terhadap Indonesia baik rakyatnya, pemerintahannya, dan sebagai bangsa itu sendiri. Pertimbangan soal standar dan makna Pahlawan Nasional juga perlu dikaji kembali untuk memastikan bahwa pahlawan bukanlah orang yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM atas alasan apa pun.

Indonesia yang kita tinggali saat ini adalah negara yang berdasarkan hukum, menjamin HAM rakyatnya, juga berkedaulatan rakyat. Dengan demikian, menjadi masuk akal untuk Presiden Soeharto tidak dilanjutkan pencalonannya sebagai Pahlawan Nasional karena masa kepresidenannya berseberangan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia saat ini. Jika meminjam kalimat terkenal untuk menggambarkan situasi ini, ”It’s not a rocket science”.

Jika pada saat tulisan ini dibaca publik dan Presiden Soeharto tidak dilanjutkan dalam daftar Pahlawan Nasional, maka pemerintah telah berhasil menjaga marwah bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi hukum, demokrasi, dan HAM. Sinyal bahwa negara berkomitmen untuk terus memperjuangkan nilai-nilai ini juga menjadi selangkah lebih jelas di masyarakat.

Namun, jika ternyata nama ini berlanjut, maka masyarakat berhak untuk mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mengedepankan hukum, demokrasi, dan HAM. Hal ini akan menjadi sinyal buruk dari pemerintah dan menjadi bensin yang akan memperbesar api kemarahan masyarakat sipil. Apalagi, di tengah maraknya gesekan yang disebabkan banyaknya polemik kebijakan dan tindakan pemerintah, serta legislasi yang tidak mencerminkan transparansi, partisipasi, penegakan hukum, demokrasi, dan HAM.

Setiap pahlawan tentu punya sumbangsihnya di bidang masing-masing dan tidak selalu sempurna sepanjang masa kehidupannya. Namun, sudah sepantasnya setiap tokoh yang mencerminkan bangsa Indonesia juga memiliki nilai yang sama yang dipegang bangsa ini. Semoga keputusan yang diambil akan berpihak pada nilai-nilai yang dipegang teguh bangsa Indonesia sebagaimana dikandung dan dibunyikan jelas dalam konstitusi.

 

Christina Clarissa Intania – Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute

christina@theindonesianinstitute.com 

Komentar