Pemerintah saat ini tengah menyusun draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU tersebut diarahkan menjadi undang-undang pengganti dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (kemdikbud.go.id, 24/02/2022). Namun, RUU tersebut menuai polemik di masyarakat.
Dalam draf yang tersedia sejauh ini, salah satu poin yang perlu menjadi sorotan adalah Pasal 10 RUU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa orang tua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Lebih lanjut, dalam Pasal 78 ayat (2) RUU Sisdiknas tertulis bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah wajib membiayai pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Namun, dalam Pasal (80) RUU Sisdiknas tertulis bahwa kewajiban pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hanya berupa pembiayaan dasar.
Tertulis dalam RUU tersebut bahwa pembiayaan dasar merupakan pembiayaan sesuai standar minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Pembiayaan dasar juga hanya diberikan kepada satuan pendidikan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dengan ketentuan tersebut, dikhawatirkan akses pendidikan anak Indonesia akan semakin terhambat. Di tahun 2021 saja, masih ada 75.843 anak dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas/ kejuruan yang putus sekolah. Dari jumlah tersebut, 56,8 persen anak putus sekolah karena orang tua mereka tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan mereka (Kemendikbud Ristek dalam Kompas.id, 2/03/2022). Data lain dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2021) juga menunjukkan bahwa masih terdapat 21,47 persen anak usia SMA/ sederajat yang tidak bersekolah, juga terdapat 6,77 persen dan 0,65 persen anak usia SMP/ sederajat dan SD/ sederajat yang tidak sekolah.
Jika Pemerintah membebankan pembiayaan pendidikan kepada orang tua, dikhawatirkan jumlah anak putus sekolah akan meningkat. Terlebih lagi, kebanyakan anak putus sekolah saat ini karena tidak adanya biaya dari orang tua. Selain itu, definisi pembiayaan dasar yang tertuang dalam RUU tersebut juga belum jelas.
Definisi yang ada sejauh ini menunjukkan bahwa tidak semua satuan pendidikan akan mendapat pembiayaan dasar. Hanya satuan pendidikan yang sesuai dengan kriteria Pemerintah Pusat yang akan mendapat pembiayaan tersebut. Pemerintah belum memberi penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria satuan pendidikan yang bisa mendapat pembiayaan dasar. Namun, jika pemerintah hanya memberikan pembiayaan dasar kepada satuan pendidikan yang dianggap berkualitas, maka satuan pendidikan yang sebenarnya membutuhkan pembiayaan tersebut justru tidak mendapat pembiayaan.
Skema pembiayaan pendidikan yang direncanakan oleh pemerintah tersebut juga jelas bertentangan dengan beberapa aturan seperti Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Skema tersebut juga bertentangan dengan Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah hak bagi semua orang dan harus gratis, setidaknya di level pendidikan dasar.
Rencana pemerintah untuk membebankan kewajiban pembiayaan pendidikan dasar kepada orang tua anak sama saja dengan mengebiri akses anak terhadap pendidikan, utamanya anak dari keluarga dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, semestinya mempertahankan dan berkomitment atas aturan yang telah ada dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 34 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Lagi pula, jika pemerintah berikeras untuk membebankan biaya pendidikan pada orang tua, maka akan semakin banyak anak yang kesulitan untuk mengakses pendidikan dan Program Wajib Belajar akan mengalami kemunduran. Lebih jauh, pemerintah juga perlu memfasilitasi mekanisme lain untuk melibatkan pemangku kepentingan lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan akan pendidikan dasar di Indonesia.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nisaaul@theindonesianinstitute.com