Setahun sudah Guburnur Jakarta Joko Widodo memegang tampuk Pemerintah Daerah (Pemda) DKI, namun gerak cepat sang gubernur masih tampak terbelenggu bahkan lamban dalam realiasi di lapangan. Salah satunya karena persoalan sinergi pusat dan daerah.
Penilaian tersebut dilontarkan pengamat perkotaan Yayat Supriyatna kepada Harian Pelita, dalam diskusi yang diadakan di The Indonesian Forum, Jakarta Pusat minggu lalu.
Pasalnya, lanjut akademisi dari Trisakti yang akrab disapa Yayat itu, beberapa program khususnya di bidang pemenuhan kebutuhan papan nan layak bagi warga kurang mampu, masih tertinggal meski sudah berjalan dan terus bertambah.
“Saya melihat Jakarta ini masih ketinggalan. Karena itu saya usul agar Pemprov DKI meningkat kerjasama atau sinergi dengan berbagai pihak,” katanya.
Apalagi, lanjut Yayat, program perumahan merupakan program yang tidak bisa berjalan sendiri dan banyak faktor yang harus diperhatikan. “Sejauh ini strategi Jokowi memang sudah bagus, dengan memberdayakan BUMD yaitu PT Jakarta Propertindo, yang menjadi leading sector,” katanya.
Namun beberapa pihak terutama yang berada di level pusat belum secara maksimal dilibatkan seperti Kemenpera karena sudah ada alokasi APBN untuk Rusunawa, Kementerian PU khususnya untuk Penataan Bantaran Sungai & Permukiman. Pengembang yang punya utang (kewajiban membayar atau memenuhi perjanjian) kepada Pemprov DKI. BUMD selain PT Jakarta Propertindo, seperti Palyza/PAM serta yang tak boleh ketinggalan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), karena salah satu hal terpenting dalam pembangunan permukiman, khususnya rusunawa atau rusunami di Jakarta adalah penyediaan atau pembebasan tanah.
Bahkan, sambung Yayat, hingga kini pengadaan tanah menjadi kendala penyediaan perumahan dari sisi pasokan. Konkretnya, kendala pengadaan tanah untuk program pembangunan perumahan ini terbentur ketentuan yang memberikan wewenang kepada BPN. ”Jadi secara legal formal (hukum), progam Pemprov DKI ini, masih terbentur Perpres No.71 tahun 2012,” ujarnya.
Di samping itu, dari sisi pasokan juga terkendala penyediaan infrastruktur, utilitas dan fasilitas. Sehingga mengakibatkan banyak rumah susun yang tetapdibangun tanpa dukungan utilitas, seperti listrik dan prasarana air bersih. Menara-menara hunian Rusun semakin tidak layak huni karena tidak dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, pendidikan maupun fasilitas ekonomi (pasar tradisional).
“Ini yang membuat orang enggan dipindahkan atau mereka keluar lagi setelah menjadi penghuni. Karena mereka berpikir, walaupun gratis tapi harus keluar ongkos lagi buat bekerja atau berdagang,” jelas Yayat.
Hal ini pula yang menjadi tantangan terbesar bagi Pemprov DKI Jakarta, di bawah komando Jokowi-Ahok. Karena, program permukiman atau perumahan ini tak sekadar merevitalisasi kawasan kumuh, tapi juga merevitalisasi kehidupan warga Kota Jakarta di kawasan tersebut. “Ini bukan cuma mempercantik kota, bukan sekadar memindahkan orang, tapi memindahkan kehidupan orang,” tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Dinas Perumahan Pemda DKI Rommel Pasaribu menyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta terus berbenah dan memperbaiki diri, serta meningkatkan pelayanan kepada publik, khususnya dalam bidang perumahan dan permukiman.
“Program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan permukiman kumuh atau padat huni ini mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2030,” katanya.
Berdasarkan hal tersebut, maka perbaikan lingkungan di kawasan permukiman kumuh ringan dan sedang melalui program tribina, pembangunan perumahan vertikal atau rumah susun sederhana di kawasan permukiman kumuh berat dan permukiman padat sebagai bentuk peremajaan lingkungan
di kawasan kumuh berat.
“Perbaikan rumah disertai dengan peningkatan kualitas prasarana dan sarana lingkungan permukiman di wilayah perumahan padat, agar lebih sehat, nyaman dan tertata lebih baik lagi,” jelasnya.
Sumber: Harianpelita.com.