Problematika Perppu Kebiri

Rabu, 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu yang sering disebut dengan Perppu Kebiri ini merupakan Perppu pertama yang dikeluarkan di masa Pemerintahan Jokowi, setelah lama diperdebatan.

Sebagian pihak menyambut baik langkah Jokowi menerbitkan Perppu ini. Sebab hal itu dipandang sebagai bentuk keseriusan Pemerintah dalam hal mengatasi kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Terlebih kasus kejahatan seksual terhadap Anak di Indonesia dari hari ke hari semakin meningkat. Korban tidak hanya diperkosa, tetapi juga disiksa, dibunuh, bahkan dimutilasi.

Oleh karena itu menurut Jokowi, kejahatan seksual pantas disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Sehingga membutuhkan penanganan khusus atau cara-cara kusus untuk mengatasinya. Salah satunya melalui pemberatan sanksi bagi pelaku dengan sanksi kebiri sebagai salah satu hukuman tambahan yang diatur dalam Perppu ini.

Perppu Kebiri yang dikeluarkan Presiden Jokowi setidaknya mengubah dua pasal dari UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.23/2002). Diantaranya Pasal 81 dan Pasal 82, serta menambah satu pasal yakni Pasal 81 A. Secara materiil, ketentuan Pasal tersebut memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun penjara.

Sebelumnya berdasarkan UU No. 23/2002 hukuman maksimal bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur adalah 15 tahun penjara dan denda Rp. 60 juta hingga Rp. 300 juta. Selain itu Perppu juga mengatur 3 (tiga) sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik pada pelaku.

Berkaitan dengan salah satu sanksi tambahan yakni sanksi kebiri kimiawi, masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Namun Penulis ingin mengambil garis pemahaman bahwa bukan hal yang tepat menghubung-hubungkan sanksi kebiri dengan pelanggaran hak asasi manusia sebagai salah satu perdebatan yang mengemuka.

Walaupun kemudian memang benar bahwa ketika orang membunuh, ia tidak harus dibalas dengan hukuman mati. Namun jika pun dia mendapatkan hukuman mati karena ketentuan tertentu, maka bukan konteksnya kita berbicara bahwa hukuman mati tersebut adalah bentuk pelanggaran HAM itu sendiri.

Sanksi pidana harus dipahami sebagai konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku dari dilakukannya sebuah tindak kejahatan atau pidana. Jadi tidak tepat bicara HAM dalam konteks memperdebatkan hukuman apa yang pantas diberikan untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Selain itu berkaitan dengan tujuan memberikan efek jera (deterence effect), menurut penulis hanyalah ‘omong kosong’ belaka. Sebab keinginan dan perilaku seksual yang menyimpang itu berkaitan dengan persoalan kejiwaan. Hasrat untuk melakukan perbuatan tersebut harus dipahami sebagai hasrat yang tidak mungkin bisa dibendung atau dipertimbangkan lebih dulu karena adanya sanksi kebiri. Artinya tidak ada jaminan bahwa sanksi kebiri akan mencegah (preventif) secara efektif seseorang melakukan kejahatan seksual, dalam hal ini terhadap anak.

Terlepas dari itu langkah Pemerintah menerbitkan Perppu itu sendiri menurut Penulis bukanlah langkah yang tepat. Meskipun penulis percaya dan meyakini Perppu ini adalah wujud upaya sungguh-sungguh Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kejatahan seksual terhadap anak. Namun menurut Penulis langkah yang seharusnya diambil oleh Pemerintah adalah segera menyusun dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bukan menerbitkan Perppu.

Dari segi kewenangan, penerbitan Perppu oleh Pemerintah harus dilandasi oleh faktor kegentingan yang memaksa. Sementara faktor kegentingan yang memaksa tersebut belum terpenuhi dalam proses penerbitan Perppu ini. sebab tidak ada kekosongan hukum (vacum of law) dalam kasus pemerkosaan anak. Faktanya telah ada Pasal 287 sampai 295 KUHP serta Pasal 81, 82, dan 88 UU 23/2002 yang mengatur tentang sanksi untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Dari segi sifat peraturan, Perppu merupakan perundang-undangan yang bersifat sementara yang pada tahap selanjutnya harus mendapatkan persetujuan dari DPR untuk diadopsi ke dalam Undang-Undang. Hal yang menjadi kekhawatiran penulis adalah jika seandainya Perppu tersebut ditolak oleh DPR, sementara telah ada pelaku kejahatan seksual yang dijatuhi sanksi oleh Hakim berupa hukuman mati dan kebiri kimiawi. Ditambah asas hukum pidana adalah asas legalitas dan tidak berlaku surut.  Tentu ini menjadi satu bentuk ketidakadilan tersendiri yang diciptakan dari ketergesa-gesaan para pembentuk peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu, Penulis berpesan kepada pemegang kekuasaan pembentukan perundang-undangan, bahwa dalam menentukan sanksi pidana tertentu kita tidak boleh terlepas dari tujuan pemidanaan di Indonesia. Paradigma pemidaan di Indonesia bukanlah memberi balasan atau balas dendam terhadap pelaku, melainkan pemulihan atau memperbaiki keadaan menjadi seperti semula, misalnya malalui rehabilitasi.

Dalam Pasal 47 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional disebutkan bahwa tujuan pemidanaan ialah, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan hukum demi pengayoman, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Selanjutnya dalam pada Pasal 47 ayat (2) dinyatakan bahwa “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Kententuan mengenai tujuan pemidanaan tersebut di atas menurut Penulis harus dijadikan dasar pertimbangan untuk mengukur dan menentukan sanksi yang efektif. Efektifitas tersebut diukur dari adanya unsur-unsur: (1) mencegah; (2) memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan; (3) menyelesaikan konflik; (4) memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan (5) membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Barangkali dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah, pandangan dr. Boyke Dian Nugraga, Pakar Seksologi, yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. Menurut dr. Boyke, cara terbaik menghadapi pedofilia, adalah dengan memberikan pengobatan dan rehabilitasi bagi para pelaku. Sementara bagi anak-anak perlu diberikan pendidikan seks sehingga mereka bisa melindungi diri sendiri dari monster seksual.

 

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com

Komentar