Sejak diberlakukannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 pada bulan Februari lalu, penekanan pada efisiensi anggaran memaksa lembaga peradilan meninjau ulang dan memangkas pos belanja operasional—mulai dari transportasi hakim dan panitera, pemeliharaan ruang sidang, hingga pengadaan sarana administrasi. Di permukaan, penghematan ini memberi ruang bagi kas peradilan untuk menutupi kebutuhan mendesak lain, namun secara mendalam justru mengikis kemampuan institusi peradilan merencanakan anggaran secara mandiri.
Ketergantungan yang semakin besar pada arahan pusat mengurangi kebebasan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan prioritas belanja sesuai kebutuhan teknis mereka. Dengan peran peradilan yang sejatinya harus setara—sebagai penjaga konstitusi dan penegak keadilan—independensi finansial menjadi pilar utama agar pengadilan tidak terpengaruh tekanan politik atau intervensi dari eksekutif dan legislatif. Namun, pemotongan anggaran yang dilakukan tanpa keterlibatan penuh Komisi Yudisial, MA, dan MK dalam proses perencanaan menciptakan ketimpangan: lembaga peradilan harus menyesuaikan belanja mereka dengan batasan yang ditentukan pihak lain, bukan berdasarkan urgensi pelayanan ke masyarakat dan pengembangan kapabilitas hakim.