Perjanjian Paris: Sebuah Komitmen, Sebuah Pertanyaan

Pada 22 April yang lalu, Perjanjian Paris ditandatangani oleh 177 negara. Perjanjian yang disetujui oleh 196 negara ini dibentuk di bawah naungan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Desember 2015. Sejauh ini, baru 15 negara yang telah meratifikasi. Perjanjian baru dapat efektif berjalan setelah diratifikasi oleh 55 negara anggota UNFCCC yang mewakili 55% dari emisi GRK global. Perjanjian ini diharapkan dapat berlaku, entry into force, sebelum COP 22 yang akan dilaksanakan pada November 2016 di Marrakesh, Moroko.

Meskipun Paris Agreement bukan perjanjian pertama yang membawa iming-iming penurunan emisi GRK, perjanjian ini memperkenalkan standar baru dengan menghilangkan sekat antara negara maju dan berkembang. Protokol Kyoto yang disahkan pada 1997 membatasi kadar emisi negara maju (Annex I). Sedangkan negara berkembang (Non-Annex I) tidak diwajibkan demikian.

Hal ini dianggap tidak efektif karena pada kenyataannya negara-negara berkembang pun bisa menjadi kontributor emisi GRK yang besar. Sebanyak lima negara Non-Annex I menduduki sepuluh besar kontributor emisi GRK tertinggi di dunia, dimana Indonesia adalah salah satunya (World Resources Institute 2014). Data ini menunjukkan bahwa arahan Protokol Kyoto kurang tepat sasaran. Perjanjian Paris memperhitungkan kolaborasi negara-negara berkembang dalam mencapai target.

Seperti perjanjian-perjanjian tentang kebijakan iklim sebelumnya, Perjanjian Paris memiliki kontrol minim terhadap negara anggota. Meskipun Perjanjian Paris memiliki ikatan hukum, tidak ada penalti yang diberikan kepada negara anggota yang tidak memenuhi komitmen. Ranah hukum dari Perjanjian Paris dianggap ambigu dan kurang jelas sehingga membuka kesempatan bagi negara-negara anggota untuk melonggarkan komitmennya (The Conversation, 13/12/2015).

Selain itu, kesadaran negara anggota untuk melestarikan lingkungan masih relatif minim (Weiss 2014). Studi yang sama mengungkapkan bahwa hukum internasional terkait lingkungan lebih sering dilakukan secara sukarela dibandingkan karena ikatan hukum. Status konvensi lingkungan sebagai “soft law” membuat target pencapaian mudah ditinggalkan meski telah dirancang sedemikian rupa. Negara-negara anggota UNFCCC masih belum merasakan adanya urgensi untuk melestarikan lingkungan (Michelson 2013).

Hukum Indonesia sendiri masih lemah dalam menindaklanjuti perkara lingkungan. Resosudarmo, pada tahun 2012, berargumen bahwa hal ini dipengaruhi beberapa faktor, seperti kondisi politik dan kekuatan institusi. Selain banyak dari hukum kita yang kurang jelas dan multi-interpretasi, otonomi daerah membuka ruang untuk kecacatan hukum. Setelah perkenalan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi yang awalnya dimiliki pemerintah pusat berpindah ke pemerintah daerah.

Hal ini melemahkan otoritas lembaga pemerintah pusat dalam mengontrol kegiatan-kegiatan pada skala provinsi. Akibatnya, banyak pelanggaran hukum terkait lingkungan terjadi pada tingkat daerah. Selain itu, pengurangan subsidi pemerintah pusat ke pemerintah daerah mengakibatkan ketergantungan daerah terhadap pendapatan dari investor luar. Hal ini mengakibatkan banyak program pemerintah pusat yang seharusnya dilaksanakan pada tingkat daerah terbengkalai akibat kebutuhan ekonomi.

Satu hal lagi yang perlu diingat adalah kurangnya proporsi APBN untuk pelestarian lingkungan. Pada umumnya, program-program lingkungan mendapat proporsi relatif sedikit dari pemerintah pusat. Salah satu contoh dasar adalah pengelolaan taman nasional.

Taman Nasional Kerinci Seblat, yang terdaftar sebagai situs World Heritage oleh UNESCO, telah ditumbuhi perkebunan-perkebunan liar akibat lemahnya penegakan hukum (Van Merm et al., 2013). Keterbatasan logistik, SDM, dan finansial merupakan faktor paling signifikan dalam masalah tersebut. Jika hal mendasar seperti ini terabaikan, sulit rasanya membayangkan program-program baru diikutsertakan dalam anggaran.

Kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan perlu ditingkatkan. Kecilnya kesadaran merupakan fenomena yang umum terjadi di negara-negara berkembang (Ziadat 2010). Metode-metode untuk meningkatkan kesadaran dapat dilakukan, seperti diseminasi informasi melalui media massa, kampanye, dan advokasi melalui tokoh masyarakat (Sola 2014). Mengintegrasikan pelestarian lingkungan pada pendidikan dasar juga dipercaya efektif dalam meningkatkan kesadaran.

Selain itu, pendekatan bottom-up juga perlu digalakkan. Hal ini telah dilaksanakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melaksanakan pelestarian lingkungan dari skala komunitas. Diperkenalkannya otonomi daerah perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Tentu saja, pendekatan ini perlu dilengkapi dengan penguatan institusi daerah seperti Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam untuk bisa memantau kondisi lingkungan pada skala daerah. Proporsi program pelestarian lingkungan di APBN juga perlu ditingkatkan. Hal ini tidak hanya berlaku untuk pelaksanaan program-program KLHK, tapi juga riset terkait.

 

Lalita Fitrianti Pawarisi, Research Associate di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Lalita@theindonesianinstitute.com

Komentar