Indonesiainside.id,, Jakarta – Peneliti The Indonesian Institute, Nopitri Wahyuni mengatakan, isu krusial ekonomi akibat krisis pandemi Covid-19 adalah meningkatnya kemiskinan. Terutama bagi masayarakat berpendapatan rendah dan pekerja informal yang mengandalkan upah harian.
“Dengan adanya goncangan di level makro akan mempengaruhi di isu devisa, harga-harga barang, aset, lapangan pekerjaan maupun akses barang dan jasa. Terhambatnya aspek terssebut membuat masyarakatatau individu terjebak kemiskinan maupun hilang pekerjaan,” ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (14/5).
Level makro yang dimaksud adalah perdagangan, aliaran modal, anggaran pemerintah, dan bantuan internasional terkait Covid-19. Guna menopang ketahanan ekonomi nasional, pemerintah memberikan respons reaktif dengan jaring pengaman sosial.
Sedianya, prorgam ini diharapkan bisa menjadi upaya yang efektif untuk menekan laju kemiskinan dengan cara mendorong daya beli konsumen, terutama bagi rumah tangga miskin. Sealin itu, membangun modal manusia dan mengurangi risiko sosial eperti pemutusan hubungan kerja dan turunnya kesejahteraan publik.
Nopita menjelaskan secara teori program jaring pengaman mesti memperhatikan beberapa pertimbangan, di antaranya karakteristik kerentanan ekonomi di setiap daerah, industri, dan dampak krisis terhadap rumah tangga maupun individu.
Hanya saja, implementasi jaring pengaman sosial dihantui oleh carut marutnya data penerima manfaat. Nopita mencatat, setidaknya ada empat program besar bantuan sosial yang dicanangkan pemerintah.
Pertama, program keluarga harapan, program sembako atau bantuan pangan nontunai, program sembako untuk wilayah Jabodetabek (zona merah Covid-19), dan BLT notunai di luar wilayah Jabodetabek yang tidak terdaftar di Data Terpasu Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial.
“Di sini ada beberpa pola pertama peningkatan cakupan dan durasi, kemudian penyesuaian jumlah transfer, kemudian ada juga transfer lainnya yang sifatnya nonreguler,” tuturnya.
Dalam implementasi di lapangan, lanjut Nopita, akurasi penerima yakni ketidaktepatan penyaluran menjadi masalah utama. Pada sisi lain pemerintah juga kekeuh bahwa kecepatan juga menjadi hal penting.
“Keduanya enggak bisa dibenturkan, tapi kita mengetahui bahwa ada beberapa alasan di balik adanya problem tadi atau akurasi data. Karena data yang ada saat ini tergantung input dari pemda, terutama untuk program yang sifatnya nonreguler seperti BLT yang diluar data terpadu kesejahteran sosial,” imbuhnya.
Dia bilang, akurasi data akan sangat sulit karena verifikasi dan validasi data sulit dicapai di masa pandemi. Hal itu terjadi karena keterbatasn infrastruktur maupun sumber daya manusia.
“Namun akurasi tetap penting sebagai bentuk trnasparansi penyaluran bansos sehingga tepat sasaran kepada masyarakat yang tidak tergapai jaring pengaman sosial sebelum krisis,” tuturnya.
“Sumber data yang ada saat ini belum banyak diperbaharui. Saya mengikuti beberapa kajian dari Kemensos bahwa sumber data dan verifikasi terkahir yang dapat diketahui adalah per Januari 2020. Tentunya data yang dirancang untuk menggapai kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan rentan miskin (ketika pandemi) tak bisa diabaikan,” tambahnya.(PS)