Pada 16 Desember 2024, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan bersama dengan kementerian terkait lainnya telah mengeluarkan berbagai stimulus ekonomi yang dinamai “Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan”. Paket ini dapat dikatakan menjadi penyeimbang (offset) kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan menjadi 12 persen.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN tersebut berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Dalam Pasal 7 ayat (3), tarif PPN tersebut dapat diubah paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Pasal 7 ayat (4) pun menyebutkan “Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Ratryat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan Menteri Keuangan dilansir dalam berbagai media dan laporan Konferensi Pers Kementerian Keuangan (16 Desember 2024), ada enam area yang didorong dalam paket stimulus ekonomi tersebut. Pertama, area Rumah Tangga (RT), di mana pemerintah akan memberikan: 1) bantuan pangan/beras sebesar 10 kilogram per bulan selama dua bulan (Januari-Februari 2025) bagi 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) di desil 1 dan desil 2; 2) PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen dari PPN 12 persen untuk Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting), seperti tepung terigu, gula industri, dan Minyak Kita; serta 3) Diskon listrik 50 persen selama Januari-Februari 2025 untuk pelanggan listrik dengan daya 2.200 Volt Ampere (VA) atau lebih rendah.
Kedua, area Pekerja, di mana pemerintah akan memberikan perbaikan kemudahan untuk mengakses Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang di-Putus Hubungan Kerja (PHK). Ketiga, memberikan perlindungan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di mana pemerintah akan memperpanjang masa berlaku Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet sampai tahun 2025. Selain itu, UMKM yang memiliki omzet kurang dari Rp500 juta per tahun akan dibebaskan sepenuhnya dari PPh tersebut.
Keempat, area untuk Industri Padat Karya yang mana pemerintah memberikan: 1) insentif PPh pasal 21 DTP bagi pekerja yang memiliki gaji hingga Rp10 juta per bulan; 2) subsidi bunga 5 persen untuk revitalisasi mesin untuk meningkatkan produktivitas; 3) serta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 50 persen di industri padat karya selama 6 bulan. Kelima, area Electric Vehicle (EV) dan kendaraan bermotor hybrid. Untuk EV atau Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), Pemerintah memberikan PPN DTP sebesar 10 persen untuk KBLBB Completely Knock Down (CKD), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) DTP 15 persen KBLBB impor Completely Built Up (CBU) dan CKD, Bea Masuk (BM) nol persen KBLBB CBU. Kemudian, untuk kendaraan bermotor hybrid, pemerintah akan memberikan PPnBM DTP sebesar 3 persen.
Dilansir dari Kompas.com (21 Februari 2022), CBU adalah istilah untuk kendaraan bermotor yang langsung diimpor dalam kondisi utuh atau telah dirakit dari negara asal perakitan dan CKD adalah kendaraan bermotor dalam keadaan lengkap yang belum dirakit dan akan dirakit di negara pengimpor.
Terakhir atau yang keenam adalah area Sektor Perumahan, di mana pemerintah memberikan PPN DTP sebesar Rp2 miliar pertama untuk pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar. Dengan kata lain, masyarakat atau pemilik rumah akan membayar Rp3 miliar sisanya. Adapun skema diskon untuk bulan Januari 2025 hingga Juni 2025 adalah 100 persen dan 50 persen untuk bulan Juli-Desember 2025.
Berdasarkan teori ekonomi, pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan kebijakan fiskal campuran antara kebijakan fiskal ekspansi dan kebijakan fiskal kontraksi atau restriktif. Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan permintaan dan merangsang roda ekonomi, terutama di tengah kemerosotan kelas menengah, dan di sisi lain ingin mengurangi defisit fiskal dan mendorong pendapatan negara melalui kenaikkan PPN. Dua kebijakan fiskal tadi adalah bentuk dari kebijakan fiskal diskresi (discretionary fiscal policy). Kebijakan fiskal diskresi merupakan kebijakan yang mengubah pendapatan dan/atau pengeluaran pemerintah melalui perubahan yang disengaja, seperti melalui undang-undang yang bertujuan untuk stabilisasi ekonomi (Gwartney et al., 2022).
Namun, Gwartney et al., (2022) juga mengungkapkan bahwa kebijakan fiskal diskresi tidak akan serta merta berdampak langsung pada kondisi makroekonomi suatu negara dan biasanya baru berdampak besar dalam waktu 6-12 bulan. Ini yang disebut sebagai masalah impact lag. Misalnya, dalam konteks paket stimulus ekonomi tadi, dampak PPN DTP 10 persen KBLBB CKD, yang mana Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam ANTARA (16 Desember 2024) meminta produsen mobil untuk mendaftarkan mereknya agar bisa mendapatkan insentif saat pemberlakukan kebijakan mulai 1 Januari 2025, dapat dikatakan baru akan terlihat setidaknya di pertengahan tahun 2025. Hal yang mendasarinya sangat beragam, misalnya, keengganan kelas menengah untuk beralih ke KBLBB akibat belum didukung infrastruktur memadai; faktor harga KBLBB (walaupun dengan PPN DTP); kebutuhan dan preferensi konsumen; hingga ketidaktahuan informasi terkait PPN DTP.
Selain impact lag, hal kedua yang menyebabkan kebijakan fiskal diskresi memerlukan waktu untuk ‘menghasilkan buahnya’ adalah faktor ekspektasi. Setidaknya ada dua hipotesis ekspektasi yang dijelaskan dalam Gwartney et al., (2022), yaitu hipotesis ekspektasi adaptif dan hipotesis ekspektasi rasional. Ekspektasi adaptif mengasumsikan bahwa masyarakat akan mengambil keputusan masa depan didasari oleh apa yang terjadi di masa lalu sebagai indikator terbaiknya. Namun, akan ada time lag bagi masyarakat untuk merubah respon atau ekspektasi mereka terhadap suatu perubahan kondisi.
Di sisi lain, hipotesis ekspektasi rasional menyebutkan bahwa ekspektasi yang terbentuk di masyarakat bukanlah hanya diakibatkan oleh pengalaman masa lalu, tetapi juga didorong oleh ketersediaan semua informasi termasuk dampak perubahan kebijakan dan pengaruhnya bagi aktivitas ekonomi. Contohnya: ketika masyarakat mengetahui atau memiliki informasi akan terjadi ketidakpastian di masa depan, seperti disrupsi ekonomi domestik, masyarakat akan cenderung menyimpan pendapatan mereka dibandingkan untuk membelanjakannya. Hal ini akan membuat efek dari kenaikan PPN 12 persen maupun stimulus fiskal lainnya akan belum memperlihatkan dampak.
Pertanyaan sederhana pun muncul: apa yang harus dilakukan pemerintah agar implementasi kebijakan fiskal diskresi yang dijelaskan sebelumnya dapat cepat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat? Pertama, pemerintah pusat yang bekerja sama dengan pemerintah daerah harus memastikan implementasi paket stimulus kebijakan berlangsung transparan, akuntabel, dan memiliki pendataan real-time guna memitigasi ‘kebocoran’ dan memastikan paket stimulus diterima oleh masyarakat dan dunia usaha yang membutuhkan.
Kedua, pemerintah pusat maupun daerah harus dapat mengkomunikasikan dan menginformasikan seluas-luasnya terkait paket stimulus dengan baik kepada masyarakat. Upaya ini dilakukan agar masyarakat memiliki informasi dan mengetahui paket stimulus dengan seksama, sehingga memiliki pengelolaan ekspektasi yang terukur. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga kementerian/lembaga juga harus jujur dan terbuka dalam penyampaian informasi terkait manfaat jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang yang akan dirasakan oleh masyarakat.
Sebaik-baiknya kebijakan akan sulit terealisasi jika tidak diikuti dengan monitoring dan evaluasi yang terstruktur. Dengan cara ini, pemerintahan Presiden Prabowo akan dapat membangun perekonomian yang lebih tangguh sesuai dengan visi Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi – The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
Putu@theindonesianinstitute.com