Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah menjadi dasar hukum bagi pernikahan sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974. Namun, dalam perkembangannya muncul berbagai kritik terhadap aturan-aturan yang dianggap tidak lagi relevan dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat saat ini.
Ada banyak aturan dan definisi hukum yang nampaknya perlu untuk diubah. Beberapa aturan dan definisi hukum tersebut antara lain seperti definisi kepala keluarga dalam perkawinan, batas usia minimal pernikahan, serta prosedur pernikahan yang masih dipengaruhi oleh norma agama dan adat. Dengan berbagai tantangan tersebut, maka muncul pertanyaan apakah ini waktu yang tepat untuk mereformasi UU Perkawinan?
Untuk mendefinisikan kepala keluarga dalam perkawinan misalnya. Dalam Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan disebutkan bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Ketentuan ini telah lama dikritik karena dianggap mencerminkan pandangan yang menempatkan perempuan hanya sebatas dalam peran domestik dan laki-laki dalam peran publik. Hal ini tentu saja tidak lagi sepenuhnya relevan dalam masyarakat modern di mana perempuan juga memiliki peran signifikan dalam ekonomi dan kepemimpinan. Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 12,73% perempuan di Indonesia adalah kepala keluarga bahkan 1 dari 10 kepala keluarga di Indonesia adalah perempuan. Dari angka tersebut, dapat disimpulkan jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga tergolong tinggi (RRI.co.id, 4/7/2024).
Perempuan sebagai kepala keluarga adalah perempuan yang mengambil perannya untuk bertanggung jawab baik secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar keluarga maupun dalam memenuhi peran kepemimpinan secara sosial di masyarakat. Pertukaran peran tersebut dapat terjadi jika perempuan adalah seorang ibu tunggal yang sedang membesarkan anaknya (bisa karena status dirinya yang ditinggal suami karena meninggal/pisah, ketidakmampuan suami dalam memenuhi kebutuhan) atau perempuan tersebut menjadi satu-satunya tumpuan dari keluarga/orangtua yang tidak lagi produktif (karena sakit dsb). Oleh sebab itu, negara harus dapat memastikan bahwa mereka memiliki kesempatan yang setara untuk menjalankan perannya tanpa mengalami beban yang berlebihan, sehingga mereka dapat memperoleh kesejahteraan dan terjamin.
Selain itu, dalam batas minimal usia pernikahan, meskipun itu telah diatur dalam revisi UU Perkawinan No 16 Tahun 2019 dimana batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Namun, ini tidak secara signifikan mencegah terjadinya perkawinan anak. Data dari Pengadilan Agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak, tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan (kemenppa.go.id, 26/1/2023). Pengajuan permohonan menikah pada usia anak lebih banyak disebabkan oleh faktor pemohon perempuan sudah hamil terlebih dahulu dan faktor dorongan dari orangtua yang menginginkan anak mereka segera menikah karena sudah memiliki teman dekat/pacaran (kemenppa.go.id, 26/1/2023). Di sisi lain, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual sebagai bekal dalam menghadapi pendewasaan usia perkawinan (PUP) masih dilakukan secara parsial.
Demikian pula dalam konteks pernikahan beda agama. Dalam uji materi UU Perkawinan dengan permohonan perkara Nomor 24/PUU-XIX/2022 yang diajukan oleh E. Ramos Petege sebagai pemohon. Pemohon menilai Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 Ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 (mkri.id, 17/3/2022).
Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Kemudian Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Terakhir, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyatakan, “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (mkri.id, 17/3/2022).”
Ni Komang Tari Padmawati selaku salah satu kuasa hukum pemohon menyebutkan, pemohon merupakan perseorangan warga negara yang memeluk agama Katolik dan hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan (mkri.id, 17/3/2022).
Hal itu pula yang mendasari oleh hampir setiap organisasi keagamaan tidak memperbolehkan pernikahan beda agama. Akibatnya, hak-hak konstitusional pemohon dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut. Pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan maka akan ada paksaan salah satunya untuk menundukkan keyakinan (mkri.id, 17/3/2022). Dari kasus tersebut, banyak pasangan yang beda agama di Indonesia mencari alternatif lain untuk tetap bisa menikah, seperti menikah di luar negeri. Bagi mereka, menikah di luar negeri menjadi satu-satunya cara agar mereka sebagai pasangan beda agama memperoleh legalitas perkawinan.
Beberapa negara seperti Australia dan Amerika sering menjadi pilihan bagi pasangan beda agama dari Indonesia untuk melangsungkan pernikahan secara legal. Setelah menikah di luar negeri, mereka dapat mendaftarkan pernikahan tersebut di Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Namun, langkah ini tetap memiliki tantangan, terutama dalam hal pencatatan administrasi dan pengakuan hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, negara seharusnya memberikan kepastian hukum dan solusi yang adil bagi masyarakat/pasangan beda agama agar mereka dapat melangsungkan pernikahan tanpa harus mencari jalur alternatif di luar negeri.
Negara seharusnya lebih bijaksana dan mempertimbangkan regulasi yang lebih inklusif, seperti menyediakan mekanisme pencatatan pernikahan sipil yang independen dari aturan keagamaan. Dengan demikian, hak konstitusional warga negara dalam memilih pasangan hidup tidak terhambat oleh keterbatasan aturan administratif. Selain itu, pemerintah juga seharusnya dapat membuka ruang dialog dengan berbagai pihak, termasuk tokoh agama dan akademisi, untuk mencari solusi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat, tetapi tetap menghormati kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com