Mengawasi Pembagian BLSM

arfiantoPembagian BLSM sebagai kompensasi langsung atas kenaikan harga BBM kepada masyarakat miskin menuai kontroversi. BLSM dinilai tidak tepat sasaran sebagaimana disampaikan Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Andi Z.A Dulung, Rabu (26/6).

Pemerintah memperkirakan data penerima BLSM meleset sekitar 6 persen dari angka yang telah ditentukan. Penyebabnya, data yang digunakan untuk memetakan warga miskin penerima BLSM merupakan data per 2011 yang dimiliki Badan Pusat Statistik. Ditambah lagi dengan adanya perubahan  angka kelahiran dan kematian, naiknya kesejahteraan masyarakat, serta perpindahan penduduk menjadi salah satu dari sekian potensi terjadinya kemelesetan data penerima BLSM. (www.jpnn.com: 27/6).

Selain itu, di sejumlah daerah masih banyak warga miskin yang tidak terdaftar sebagai penerima BLSM. Padahal seperti diketahui, ada lima program kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan pemerintah. Tiga program di antaranya bersifat percepatan dan perluasan dari program reguler yang telah ada, yakni program keluarga harapan (Rp 0,7 triliun), program bantuan siswa miskin (Rp 7,5 triliun), dan program beras untuk rakyat miskin (Rp 4,3 triliun).

Dua program lainnya adalah pembangunan infrastruktur dasar dan BLSM, yang masing-masing anggarannya Rp 7,25 triliun dan Rp 9,7 triliun. Dengan demikian, total anggaran untuk paket kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi mencapai Rp 29,4 triliun (Kompas, 23/6). Penyaluran BLSM 30 persen akan dilakukan melalui PT. Pos. Sementara 70 persen sisanya akan disalurkan lewat komunitas.

Melesetnya data jumlah penerima BLSM akan menimbulkan potensi penyelewengan yang dapat menguntungkan segelintir orang atau kelompok. Beberapa contoh kasus penyelewengan dana bantuan langsung oleh pemerintah, misalnya sebagai berikut.

Pada tahun 2008, Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng melaporkan kasus dugaan penyimpangan penyaluran BLT di Jateng kepada Presiden. Penyimpangan BLT terjadi di 27 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Penyimpangan itu dilakukan seperti pemotongan antara Rp 50 ribu-Rp 250 ribu yang dipergunakan untuk sarana publik, administrasi pengurusan BLT, peringatan hari kemerdekaan, dan sedekah desa (Suara Merdeka, 31/10/ 2008).

Bahkan di tahun 2013 ini, ICW merilis terdapat 120 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (Bansos) selama periode 2007-2012 dengan total penyelewengan dana sebesar Rp 411 triliun.

Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, maka beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, kelompok masyarakat sipil dan media massa harus aktif  melakukan literasi dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang BLSM dengan segala bentuk prasyarat administrasinya.  Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan penguatan sosialisasi dalam bentuk iklan maupun pertemuan dengan masyarakat marginal.

Kedua, Kepolisian, KPK bersama masyarakat sipil dan media massa melakukan pengawasan pembagian BLSM, baik yang melalui PT Pos maupun komunitas untuk mencegah penyelewengan.

Ketiga, pemerintah melakukan pendataan ulang terhadap jumlah warga yang tergolong miskin, melalui perangkat Desa/Kelurahan sampai dengan RW/ RT. Keempat, mengoptimalkan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Dewan Kelurahan dalam melakukan pengawasan pendataan warga miskin.

Arfianto Pubolaksono – Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar