Menengok Medical Tourism Indonesia

Seiring dengan berjalannya waktu, ekspansi sektor pariwisata membawa beragam bentuk diversifikasi pariwisata. Diversifikasi pariwisata salah satunya juga menyentuh ke dunia kesehatan yakni dengan berkembangnya konsep medical tourism. Laws (1996) mendefinisikan medical tourism sebagai perjalanan dari rumah ke tujuan lain untuk meningkatkan kondisi kesehatan seseorang sebagai salah satu jenis rekreasi, yang termasuk mendapatkan layanan medis dan alternatif, dan segala bentuk pariwisata lainnya yang dilakukan dengan tujuan menangani masalah kesehatan.

Dengan kata lain, medical tourism menekankan pada kegiatan pengobatan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang disertai dengan kegiatan wisata. Lebih lanjut, dikutip dari Hunter (2007), medical tourism menawarkan beberapa pelayanan, seperti jasa pijat, mandi, olahraga dan diet, termasuk puasa, dan retret umum dari kehidupan sehari-hari, serta menampilkan berbagai efek terapi, penyembuhan dan penyembuhan khusus untuk tujuan tertentu dan sumber daya alam dan budayanya.

Salah satu faktor yang mendorong lahirnya konsep medical tourism adalah saat ini dunia sedang mengalami sebuah fenomena yang dikenal dengan “Aging Well” atau berlanjut usia dengan sehat. Kemudian, dikutip dari Suryanti (2017), saat ini jumlah penduduk lanjut usia (lansia) terus meningkat tajam. Dalam kurun waktu 30 tahun peningkatan jumlah lansia tumbuh lebih dari 20 persen. Bahkan VISA (2017) memprediksikan bahwa 13 persen dari wisatawan internasional yang bepergian pada tahun 2025 merupakan wisatawan lansia.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (2019) mencatat adanya peningkatan jumlah penduduk lansia, yakni dari 18 juta jiwa (7,6 persen) pada tahun 2010 menjadi 25,9 juta jiwa (9,7 persen) pada tahun 2019. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 48,2 juta jiwa (15,8 persen) pada tahun 2035. Berangkat dari hal tersebut maka saat ini banyak bermunculan fenomena gaya hidup sehat dan anti penuaan dini di masyarakat. Adanya perekembangan gaya hidup ini juga diikuti oleh pertumbuhan fasilitas-fasilitas kesehatan baru, seperti rumah sakit, pusat kesehatan, pusat-pusat kebugaran, gym center¸anti-aging center dll.

Dampak Ekonomi Medical Tourism

Berdasarkan data United Nations World Tourism Organization (UNWTO) (2012), terdapat sekitar 27 persen keadatangan wisatawan dunia memiliki maksud kedatangan untuk mengujungi teman, keluarga, keagamaan, dan kesehatan. Hal ini tentu saja membawa dampak yang cukup besar bagi sektor pariwisata khusunya medical tourism. Data tersebut juga dikonfirmasi Heung et al (2010), yang studinya menunjukkan bahwa dampak ekonomi industri medical tourism di seluruh dunia menghasilkan sekitar US$60 miliar per tahun. Tidak jauh berbeda, Wong et al ((2014) juga memproyeksikan industri medical tourism mencapai sebesar US$38 – US$55 miliar setiap tahunnya. Global SPA & Welness Summit (GSS) dan Standford Research Institute (SRI) (2011) mengestimasi ada sekitar 17,6 juta wisatawan dengan penerimaan global sebesar US$50 miliar untuk perjalanan kesehatan.

Kemudian, mengutip Excel International Journal of Multidisciplinary Management Studies (dalam Rahman, 2012), medical tourist dari benua Asia memfavoritkan Cina, India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, serta Turki sebagai tujuan medical tourism. Negara-negara tersebut, misalnya Malaysia, Thailand, Singapura, dan India diproyeksikan menghasilkan lebih dari US$4,4 Miliar pada tahun 2012. Bahkan Singapura memiliki target untuk mendatangkan sekitar 1 juta pasien asing per tahun yang akan berkontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura sebesar US$1,6 miliar. Sementara itu, Malaysia memperkirakan pendapatan dari medical tourism mencapai US$590 juta per tahun dalam waktu per lima tahun (Heung et al, 2010).

Menengok Medical Tourism di Indonesia.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sendiri masih menghadapi beberapa tantangan dalam pengembangan medical tourism. Berbagai sumber dengan menggunakan data tahun 2012, menunjukkan bahwa warga negara Indonesia justru pergi melakukan pengobatan di Malaysia dan Singapura dengan menghabiskan biaya sekitar US$23 miliar entah untuk berobat ke rumah sakit pemerintah maupun swasta. Jika direpatriasi, biaya medical tourism warga Indonesia ini akan bernilai US$1,5 miliar atau sekitar 0,5 persen dari PDB Indonesia. Tingginya mobilitas warga Indonesia yang berobat ke negara lain opportunity cost yang harus ditanggung Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia harus berbenah diri dalam hal pelayanan kesehatan. Selain untuk penduduknya sendiri, Indonesia juga harus siap memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat negara asing.

Sebagai negara yang memiliki keindahan dan kekayaan alam, Indonesia pada prinsipnya juga memiliki peluang untuk mengembangkan potensi medical tourism sebagai potensi unggulan daerah. Bali sebagai salah satu primadona destinasi di Indonesia, juga sudah mencoba mempersiapkan rumah sakit yang bertaraf internasional. Sampai saat ini, setidaknya sudah ada tiga rumah sakit yang diakui secara internasional, yakni Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Bali International Medical Centre yang juga mengadakan kerja sama dengan Courtyard Marriot Bali, serta Bali Royal Hospital.

Lebih lanjut, berdasarkan studi oleh Dinas Pariwisata Bali (2012), tercatat bahwa 454.047 wisatawan mancanegara (15,7 persen) melakukan kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan kesehatan dan pembugaran. Satu hal lagi yang lebih menguatkan Bali bahwa Indonesia juga sudah menyediakan layanan kesehatan bernama Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Namun, hingga tulisan ini dibuat belum ada sumber yang menyebutkan berapa proyeksi pendapatan dari sektor medical tourism. Namun, jika dilihat dari angka tersebut maka Indonesia sejatinya memiliki potensi pendapatan dari sektor medical tourism. Di sisi lain, Indonesia perlu memanfaatkan potensi dari medical tourism, ditambah saat ini merupakan momentum emas di tengah COVID-19 untuk mempromosikan potensi medical tourism yang ada di Indonesia.

Secara umum, dukungan kebijakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga telah digaungkan sejak tahun 2012 untuk mendukung medical tourism. Salah satunya dengan meluncurkan gerakan terpadu Indonesian Wellness and Healthcare Tourism Movement (IWHT) sejak tahun 2012. Lebih lanjut, pada tahun 2017 kemarin, kedua kementerian tersebut juga telah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) mengenai pengembangan medical tourism di Indonesia.

Program medical tourism ini merupakan sinergi dua kementerian untuk mengembangkan medical tourism Indonesia yang memiliki ciri khas natural dan holistik, dengan memanfaatkan kearifan budaya lokal dengan didukung data-data alamiah dan mendapatkan dukungan dari sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit yang terakreditasi secara nasional dan internasional.

Rekomendasi Kebijakan

Terkait dengan medical tourism, berikut beberapa rekomendasi kepada pihak terkait, khususnya Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata untuk membuat kebijakan yang lebih komprehensif dalam menjadikan medical tourism sebagai sektor yang berkelanjutan.

Pertama, di tengah situasi pandemi COVID-19, Kemenparekraf dan Kemenkes dapat membuat kebijakan dan regulasi mengenai medical tourism yang sesuai dengan standar protokol kesehatan di era pandemi. Utamanya kedua kementerian ini juga dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah yang memiliki potensi medical tourism seperti di Bali untuk menjamin medical tourism di Bali menerapkan aturan protokol kesehatan.

Kedua, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) harus membuat Rencana Jangka Menengah dan Panjang mengenai roadmap pengembangan dan pembangunan medical tourism Indonesia, khususnya sebagai potensi unggulan daerah. Kedua, untuk pengembangan medical tourism, Kemenparekraf dan Kemenkes dapat menjadikan Bali sebagai pilot project untuk model pengembangan medical tourism di daerah lainnya.

Ketiga, Kemenparekraf dan Kemenkes harus mampu melakukan sosialisasi, promosi dan pemasaran mengenai medical tourism yang ada di Indonesia. Selain itu, kedua kementerian ini juga perlu bekerja sama dengan Kementerian Luar negeri (Kemenlu) untuk melakukan diplomasi dan juga pengenalan mengenai potensi medical tourism yang ada di Indonesia dalam diplomasi kerjasama global.

Keempat, yang tidak kalah penting, bagi penyelenggara layanan kesehatan, harus mampu menyediakan pelayanan paripurna bagi calon medical tourist. Misalnya, penyelenggara layanan kesehatan dengan membuat paket yang berisi perawatan sekaligus penanganan bila terjadi efek samping perawatan hingga follow up perawatan.

Kelima, Kemenparekraf dan Kemenkes dapat bekolaborasi bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mendorong investasi di bidang usaha akomodasi/infrastruktur yang dilakukan pihak swasta (investasi luar negeri) dengan memberikan kemudahan prosedural dan birokrasi. Perlu adanya kebijakan pemerintah untuk mempermudah terjadinya arus investasi, barang dan jasa medical tourism, maupun dukungan kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan pengembangan medical tourism. Dengan begitu Indonesia dapat menagkap peluang dari medical tourism yang akan membawa optimalisasi potensi ekonomi.

 

Muhamad Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar