Membangun Tatanan Permukiman Masyarakat Ibukota

Peristiwa kebakaran yang terjadi beberapa bulan terakhir di Ibukota Jakarta,  mengakibatkan sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah permukiman padat penduduk mengalami kerugian. Beberapa peristiwa tersebut antara lain, Kebakaran yang melanda permukiman warga di Tanah Abang V, Petojo Selatan, Jakarta Pusat pada hari Minggu (26/2/2023) malam, yang menghabiskan 87 bangunan yang dihuni 113 kepala keluarga (kompas.com, 06/03/2023).

Kebakaran besar yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang pada 3 Maret 2023 meninggalkan 19 korban meninggal dunia (14 orang dewasa, 5 anak-anak),  serta 297 pengungsi (CNNIndonesia,05/03/2023). Sebagian besar korban bencana kebakaran merupakan warga yang tinggal menetap di wilayah lahan sengketa. Warga masyarakat korban kebakaran Depo Plumpang yang menetap di area permukiman tersebut umumnya memiliki ergonomika permukiman yang tidak layak huni, selain karena berada di kawasan daerah penyangga juga tidak ramah lingkungan sehingga memberikan kesan padat dan tidak beraturan. Selain itu, kebakaran yang terjadi di Depo Plumpang Jakarta Utara baru-baru ini bukan pertama kalinya, musibah yang sama pernah terjadi tahun 2009 namun tidak meninggalkan korban yang sebanding dengan yang terjadi pada awal Maret lalu. Anehnya, tidak lama kejadian kebakaran tersebut, warga masyarakat kembali membangun area permukimannya di tempat yang sama.

Masalah permukiman kumuh dan kepadatan penduduk di Ibukota Jakarta sejatinya bukanlah hal baru. DKI Jakarta sebagai ibukota memiliki permasalahan permukiman padat penduduk yang tidak kunjung selesai. Hal ini dibuktikan berdasarkan data laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,57%, serta mobilitas masyarakat yang datang dan hidup menetap di Jakarta terus mengalami peningkatan (Bps,2021). Permukiman padat penduduk dan kumuh mengindikasikan ketidakteraturan dan kemiskinan perkotaan. Oleh sebab itu,  penataan tata ruang permukiman masyarakat menjadi hal yang penting guna menjadikan kota Jakarta sebagai ibukota yang layak huni dan ramah lingkungan

Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Pemukiman Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta selama ini telah berupaya dalam mengatasi terbentuknya permukiman kumuh di kawasan padat penduduk. Beberapa upaya tersebut berbentuk dalam program seperti Kampung Hijau dan pembangunan rumah susun. Pembangunan rumah susun sebagai tempat tinggal alternatif layak huni yang umumnya diperuntukkan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Konsep bangunan petak dengan ukuran tipe 36 maupun studio seharusnya dapat menjadi solusi atas masalah permukiman kumuh dan kepadatan penduduk selama ini. Meskipun pembangunan rumah susun telah berlangsung sejak lama, namun hal ini tidak serta-merta memberikan jaminan akan teratasinya masalah permukiman padat penduduk yang tidak layak huni, mengingat beragam situasi sosial yang rumit sehingga masyarakat cenderung untuk bertahan pada tempat tinggalnya.

Relokasi masyarakat permukiman padat penduduk ke rumah susun yang dibangun oleh pemerintah baik dengan skema kepemilikan seumur hidup maupun dengan cara sewa, boleh jadi adalah solusi dari permasalahan permukiman kependudukan yang terjadi selama ini khususnya diwilayah DKI Jakarta. Namun demikian, pemerintah juga perlu memperhatikan akses ekonomi yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat akar rumput, serta akses dan ketersediaan fasilitas umum lainnya.

Rumah susun dapat menjadi bentuk permukiman alternatif di tengah keterbatasan lahan di Jakarta. Bentuk bangunan yang datar dan standar fasilitas yang terdiri dari dua ruang kamar, ruang keluarga, kamar mandi, serta dapur tanpa tambahan bentuk bangunan lainnya, cenderung dapat memberikan nilai keadilan untuk setiap penghuni rusun yang berasal dari ekonomi menengah kebawah.

Oleh sebab itu, dalam menangani permasalahan pemukiman, pemerintah perlu bekerja sama dan berkolaborasi dalam menentukan bentuk permukiman yang ideal, khususnya di wilayah perkotaan. Pentingnya kerja sama dan kolaborasi dalam penanganan pemukiman penduduk menjadi unsur penting dalam menciptakan struktur dan tatanan permukiman masyarakat yang ramah lingkungan.

 

 Dewi Rahmawati Nur Aulia

Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

dewi@theindonesianinstitute.com

Komentar