Indonesia telah memasuki usia ke-75 tahun, namun peringatan Kemerdekaan Indonesia pada tahun ini cukup berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Indonesia memang tak lagi melawan penjajah, tetapi justru melawan makhluk laten bernama Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Efek domino yang ditimbulkan ke berbagai bidang begitu luar biasa sejak kemunculan kasus pertamanya di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.
Berbagai kebijakan dibuat pemerintah untuk menekan dampak yang ditimbulkan. Namun, masalah klasik yaitu adanya benang kusut komunikasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah banyak menimbulkan kompleksitas implementasi kebijakan publik. Hal ini pun berdampak pada komunikasi kebijakan yang dilakukan Pemerintah kepada publik.
Memaknai kembali kemerdekaan di masa COVID-19, kemerdekaan yang dibutuhkan publik saat ini tak lain adalah kebebasan untuk mendapatkan akses seluas-luasnya terhadap semua informasi terkait kebijakan yang diambil oleh Pemerintah termasuk berpartisipasi aktif mengkritisi kebijakan yang akan diimplementasikan.
Mengamati situasi yang terjadi, dalam pengambilan keputusan kebijakan, Pemerintah Pusat melibatkan sejumlah aktor yang berasal dari Kementerian/Lembaga (K/L) juga berbagai pakar yang kompeten dari berbagai latar belakang ilmu. Namun, keterlibatan publik dipertanyakan. Idealnya, publik mengetahui proses pembuatan kebijakan publik sebelum kebijakan tersebut diputuskan Pemerintah. Konferensi pers yang rutin dilaksanakan pun setiap hari, cenderung pada penambahan jumlah pasien positif dan pelaporan kegiatan di lapangan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menggarisbawahi bahwa salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh Informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dalam penjelasan atas Undang-Undang (UU) tersebut, hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.
Merujuk pada UU tersebut, masyarakat seharusnya diberikan informasi yang lebih dalam terkait alasan-alasan dibalik setiap keputusan pemerintah dalam menentukan kebijakan. Misalnya saja kebijakan terkait perubahan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang kini berubah menjadi Satuan Tugas (Satgas) yang juga ditambah dengan adanya pembentukan Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang keduanya dikoordinasikan melalui Komite Kebijakan.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan evidence based policy yang berarti setiap keputusan harus berdasarkan bukti yang merujuk pada data dan laporan hasil penelitian. Jika pembentukan Satgas PEN dan Komite Kebijakan begitu mendesak, setidaknya harus ada kajian yang membuktikannya. Kondisi demikian tampak memperkuat adanya pandangan, bahwa kebijakan publik dibuat berdasarkan kepentingan politik.
Bagi saya pribadi, adanya penambahan Satgas dan Komite Kebijakan ini justru menambah rantai panjang koordinasi yang dilakukan. Adanya penyerapan anggaran yang masih kurang juga menambah pertanyaan. Mengapa tidak untuk untuk mendorong tingkat realisasi penggunaan anggaran dengan meninjau dan meningkatkan kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tersebar di K/L, alih-alih membentuk mekanisme baru koordinasi.
Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA) juga mempertanyakan keputusan Presiden Jokowi membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). PRIMA menilai pembentukan Satgas justru mengonfirmasi adanya masalah di dalam Kabinet Indonesia Maju. Menurut aktivis PRIMA, Sya’roni, Satgas tidak perlu dibentuk apabila komunikasi di dalam kabinet berjalan baik (katta.id, 21/07). Lain halnya jika sebelumnya Pemerintah Pusat memberikan informasi terkait rencana pembentukan Komite Kebijakan, di mana akan membuka ruang publik untuk mendapatkan informasi sehingga dapat memberikannya.
Di masa COVID-19 ini, Pemerintah di berbagai negara memang dituntut untuk membuat segala keputusan kebijakan dengan cepat karena pandemi yang membawa banyak ketidakpastian, tetapi tidak seharusnya mengorbankan informasi yang harus disampaikan kepada publik. Bagaimanapun, dalam komunikasi kebijakan perlu terus diupayakan untuk membangun kepercayaan publik di masa pandemi.
Semoga peringatan Kemerdekaan Indonesia ini hari ini menjadi momentum para pengambil kebijakan dan komunikator kebijakan di negeri ini untuk kembali pada komitmen keterbukaan informasi publik. Salam Kemerdekaan!
Vunny Wijaya,
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
vunny@theindonesianinstitute.com