Indonesia masih bergelut pada gelombang pertama Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), namun sejumlah berita hoaks terus bermunculan. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendeteksi 1.016 isu hoaks terkait COVID-19 yang tersebar di 1.912 platform (Kompas.com, 05/08). Dalam artikel tersebut, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), sebuah Civil Society Organization (CSO) yang bergerak dalam edukasi anti-hoaks, menyatakan terdapat sekitar 600 hoaks terkait COVID-19 yang telah mereka luruskan atau klarifikasi sejak akhir bulan Januari – September 2020.
First Draft (2017), salah satu gerakan yang bertujuan untuk melindungi komunitas masyarakat dari bahaya disinformasi, mengklasifikasikan hoaks menjadi tujuh. Pertama, satir/parodi, dalam berita ini tidak ada niat jahat, namun bisa mengecoh. Kedua, false connection, yaitu judul berbeda dengan isi berita dan konten lainnya. Ketiga, false context, yaitu konten disajikan dengan narasi konteks yang salah. Keempat, misleading content, yaitu konten yang dipelintir untuk menjelekkan. Kelima, imposter content, yaitu pencatutan nama tokoh publik. Keenam, manipulated content, yaitu konten yang sudah ada diubah untuk mengecoh. Ketujuh, fabricated content, yaitu 100% konten palsu.
Salah satu hoaks yang mencuat beberapa waktu lalu adalah pernyataan terkait COVID-19 yang disampaikan oleh sekelompok dokter yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Dokter Dunia di Eropa. Adanya video pernyataan Aliansi Dokter tersebut kemudian menyebar cepat melalui aplikasi WhatsApp (WA). Pernyataan yang dilontarkan Aliansi Dokter tersebut menuai penolakan dari banyak pihak.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Daeng M. Faqih, meminta masyarakat tidak menerima informasi yang sesat pikir dan tak terbukti ilmiah (kumparan.com, 28/10). Misalnya, soal menyebut COVID-19 sebagai flu biasa dan musiman. Lalu, tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dianggap tidak kredibel mengetes virus tersebut. Daeng mengingatkan masyarakat untuk mencari informasi terkait COVID-19 seakurat mungkin. Masih dalam artikel tersebut, dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Persahabatan (RSUP), Erlina Burhan, meminta masyarakat mengabaikan berita tersebut. Menurut Erlina, Aliansi Dokter Dunia bukan organisasi dokter resmi. Pernyataan yang dilontarkan pun mengandung banyak disinformasi.
Di era digital yang sarat dengan limpah ruah informasi, melawan hoaks menjadi upaya yang perlu dilakukan secara masif. Apalagi dengan menjamurnya penggunaan media sosial yang sifatnya tertutup seperti WA. WA yang terdiri dari banyak grup-grup membuat satu informasi begitu cepat tersebar tiap detiknya. Selain itu, belum semua pengguna WA teredukasi soal melawan hoaks, sehingga alih-alih memeriksa dan menyaring konten sebelum disebarkan, pesan apapun yang masuk langsung disebarluaskan begitu saja.
Melihat situasi ini, upaya edukasi soal hoaks perlu menjadi perhatian yang lebih di tengah pandemi. Mengamati situs web covid.go.id dalam kolom Hoax Buster, berita hoaks hampir dilaporkan setiap harinya. Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan, belum lagi saat ini tidak semua orang dapat mengakses atau mengetahui keberadaan situs web tersebut. Penjelasan soal hoaks pernayataan Aliansi Dokter Dunia tersebut telah diinformasikan melalui situs web tersebut pada tanggal 25 Oktober lalu. Namun, diketahui video pernyataan tersebut masih tersebar.
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 perlu secara masif menginformasikan berbagai berita hoaks dengan menggunakan berbagai media yang dimiliki. Apalagi sejumlah hoaks menyatakan kesalahan informasi yang dapat melemahkan kedisiplinan masyarakat untuk menjalankan Gerakan Memakai masker, Menjaga jarak dan menjauhi kerumunan, serta Mencuci tangan (3M).
Bagaimanapun, melawan hoaks di tengah pandemi membutuhkan upaya bersama. Satgas COVID-19 Pusat hingga Daerah berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) perlu memperkuat strategi penyampaian informasi publik untuk memastikan kebenaran berbagai informasi yang tersebar di tengah pandemi. Misalnya, melalui poster yang dapat diletakkan di fasilitas publik atau fasilitas COVID-19 seperti tempat cuci tangan. Bukanlah hal yang mudah, upaya ini juga perlu menggandeng berbagai komunitas yang ada di masyarakat. Kampanye soal hoaks juga perlu dilakukan secara masif melalui berbagai media sosial yang dimiliki pemerintah. Hal ini bertujuan agar masyarakat menyadari pentingnya mengutamakan pengecekan berita sebelum menyebarluaskannya.
Strategi lainnya yang perlu dibangun Satgas COVID-19, yaitu memperbanyak penyebaran informasi positif dalam rangka promosi kesehatan (promkes) dan kabar baik dalam rangka kebijakan pemerintah memerangi COVID-19. Mengingat maraknya penggunaan media sosial tertutup, melawan hoaks juga perlu menjadi komitmen masing-masing individu di masyarakat. Sebaik apapun pencegahan dan penyaringan hoaks yang dilakukan pemerintah melalui Satgas COVID-19 dan mitra kolaborasinya, tanpa adanya partisipasi individu untuk turut serta menyaring informasi yang diterima, maka upaya tersebut tidak akan optimal.
Vunny Wijaya
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)