JAKARTA – Berkat perjuangan RA Kartini untuk membebaskan hak perempuan yang terkungkung di masa pra kemerdekaan , kini sudah lebih banyak perempuan yang telah bebas untuk mengakses dan mendapatkan hak-hak mereka, misalnya hak untuk bersekolah, hak untuk bekerja, dan lain-lain.
Meskipun begitu, nampaknya masih banyak perempuan yang masih mendapat pembatasan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Salah satunya terlihat dari masih tingginya jumlah perkawinan anak.
Satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia masih melakukan perkawinan di usia anak (BPS, Bappenas, UNICEF, UI, PUSKAPA, 2020). Pada tahun 2020, angka dispensasi kawin anak meningkat tiga kali lipat dari 23.126 di tahun 2019, menjadi sebesar 64.211 di tahun 2020 Indonesia (Komnas Perempuan, 2021).
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII), Nisaaul Muthiah menyatakan tingginya angka perkawinan anak seharusnya menyadarkan kita bahwa emansipasi perempuan masih belum selesai. Hari Kartini seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai seremonial tahunan saja, namun harus diiringi dengan langkah nyata dari berbagai pihak untuk meningkatkan emansipasi perempuan. Salah satunya dengan mencegah dan melarang perkawinan anak.
Pada faktor budaya, masih ada masyarakat yang menganggap bahwa jika anak perempuan tidak lekas dikawinkan akan menjadi perawan tua/tidak laku. Pada aspek ekonomi, tidak sedikit orang tua yang menganggap bahwa mengawinkan anak perempuan mereka dapat meringankan beban ekonomi rumah tangga. Selain itu, tidak meratanya fasilitas publik seperti sekolah juga memacu anak perempuan untuk dikawinkan.
Nisa juga menambahkan bahwa perkawinan anak memiliki berbagai efek negatif baik itu pada anak, calon keturunan dan pada proses pembangunan negara. Anak yang dipaksa kawin di usia anak akan kehilangan haknya untuk tumbuh dan berkembang sebagai anak.
“Status anak berubah menjadi istri pasca perkawinan, maka anak secara tidak langsung dituntut untuk menjadi besar sebelum waktunya. Hal tersebut berdampak negatif bagi kondisi fisik dan psikis anak,” tegas dia.
Perkawinan anak juga membuat anak kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah, mengingat sistem pendidikan saat ini tidak terbuka untuk anak yang telah melakukan perkawinan. Selain itu, perkawinan anak juga memicu tingginya angka kekerasan seksual (UNICEF, 2020) dan perceraian (Sutanti, 2021).
Maka dari itu, lanjut Nisa, Hari Kartini juga seharusnya menjadi momentum untuk melakukan upaya bersama untuk mengatasi permasalahan perkawinan anak, termasuk dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya perkawinan anak yang juga merenggut kebebasan dan masa depan anak.
Tokoh masyarakat dan orang tua harus mengakhiri budaya yang melegitimasi perkawinan anak. Orang tua harus memahami bahwa anak bukanlah properti. Anak merupakan individu yang memiliki harapan dan kemauan sendiri.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga harus meratakan fasilitas pendidikan agar tidak ada anak yang menikah dini karena tidak dapat bersekolah. “Kemendikbud juga harus membuat kebijakan agar anak-anak yang terlanjut menikah dini tidak kehilangan kesempatan untuk dapat mengakses layanan pendidikan. Serta yang tidak kalah penting, Pengadilan Agama harus lebih tegas dan memperketat pengabulan dispensasi kawin,” tutup Nisa.