Maju-Mundur Demokrasi, Refleksi Kritis 22 Tahun Reformasi

JAKARTA, SUARAPEMRED – Sesuai dengan penilaian banyak lembaga, indeks demokrasi Indonesia menunjukkan simpulan yang kurang lebih serupa, yaitu bahwa demokrasi Indonesia mengalami kecenderungan menurun. Tentu, momentum 22 Tahun reformasi menjadi saat tepat untuk mengevaluasi perjalanan demokrasi Indonesia.

Apa penyebab kemunduran demokrasi Indonesia? Benarkah civil society kurang mampu menjadi kekuatan penyeimbang? Apa yang harus dilakukan untuk keluar dari krisis demokrasi? Apakah para aktivis 98 yang kini menjadi bagian elite tetap konsisten mengawal agenda reformasi?

Dalam kerangka tersebut, maka Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima Indonesia) dan Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) mengadakan diskusi dengan topik diatas. Diskusi ini dilaksanakan untuk memperingati 22 Tahun Reformasi sekaligus untuk melakukan refleksi kritis terhadap perjalanan demokrasi pasca reformasi Tahun 1998.

Diskusi tersebut menghadirkan 5 (lima) narasumber, yang memberikan refleksi kritisnya terhadap perjalanan kehidupan demokrasi selama 22 tahun setelah reformasi. Berikut ini adalah pernyataan yang disampaikan oleh kelima narasumber untuk dikutip dalam pemberitaan.

Arif Susanto (Analis Politik Exposit Strategic):

menegaskan bahwa ancaman terhadap demokrasi muncul dari hampir semua arah. NEGARA: penyalahgunaan kekuasaan (korupsi, peraturan tidak adil, intimidasi samar/terang, kekerasan, diskriminasi). Elite politik: korupsi, pemusatan kuasa ekonomi-politik, populisme dan propaganda. ELITE EKONOMI: perburuan rente, pemusatan kuasa ekonomi-politik, pendanaan tidak sah politik, peminggiran ekonomi. MASYARAKAT: kekerasan, pemencilan, jebakan kabar bohong.

Lebih khusus menyoroti civil society, Arif menyatakan bahwa kondisinya tidak kalah memprihatinkan. Posisi lemah civil society adalah dampak paling nyata pemusatan ekonomi-politik, yang menciptakan ketergantungan pada hampir semua sektor.

Selain itu, secara internal, progresifitas dan kohesivitas civil society cenderung menyusut, sedangkan ruang ekspresi semakin terbatasi. Institusi pendidikan, yang sebelumnya banyak menyumbang penguatan civil society kini lebih terjebak industrialisasi.

Faktor lain adalah macetnya regenerasi dan pembangunan kesadaran dalam situasi yang abu-abu; antara belum demokratis, tetapi tidak sungguh otokratik. Terakhir, teknologi komunikasi digital bantu atasi jarak, tetapi relatif gagal menghasilkan progresifitas. Penyelesaian faktor-faktor tersebut dapat membantu perbaikan demokrasi.

Demi keluar dari kemunduran demokrasi, Arif mengajukan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Minimasi penjarakan ekonomi-politik. Pemusatan kuasa menjadi persoalan yang semakin serius lewat kesenjangan ekonomi-politik. Jika problem distribusi sumber daya ini bisa diselesaikan, persoalan lain menjadi lebih mudah dicarikan solusinya.

2. Perombakan dalam penegakan hukum. Mampetnya reformasi di bidang hukum menimbulkan komplikasi sistemik dalam kehidupan bernegara. Jika tidak segera ada terobosan, ambruknya reformasi hanyalah soal waktu.

3. Penguatan civil society. Demokrasi yang kuat membutuhkan negara maupun civil society yang sama kuatnya. Perbaikan sistem hukum, ekonomi, dan politik dapat memperkuat negara dan memberdayakan rakyat. Namun, penguatan civil society akan memberi harapan lebih baik bagi demokrasi deliberatif.

Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Insitute, Center for Public Policy Research (TII):

Dalam paparannya mengatakan bahwa 22 Tahun Reformasi seharusnya dijadikan momentum untuk refleksi terhadap demokrasi dan agenda reformasi di Indonesia. Maju mundurnya demokrasi merupakan bagian dari proses pembelajaran yang panjang.

Sejauh ini, demokrasi masih dipercaya sebagai sistem pemerintahan yang terbaik. “Kita menikmati kebebasan dalam berekspresi, mengemukakan pendapat, berorganisasi, kebebasan memilih, kesempatan berpartisipasi dalam proses kebijakan maupun berkompetisi dalam ajang Pemilu, dan sebagainya. Di sisi lain, pasca Reformasi, kita makin dihadapkan pada tantangan ‘illiberal democracy’ dan penyelewengan makna demokrasi, yang termnya kerap digunakan.

Misalnya, meningkatnya intoleransi terhadap keberagaman maupun perbedaan pandangan; tingginya kekerasan terhadap perempuan; penggunaan jalur dan lembaga demokrasi untuk kepentingan yang bertentangan dengan demokrasi; ancaman terhadap kebebasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang mengatasnamakan mayoritas; banyaknya produk hukum dan kebijakan yang tidak peka gender dan kelompok marjinal, serta mengancam kebebasan dan Hak Asasi Manusia.” ujar Adinda dalam diskusi online Lima Indonesia dan Komite Pemilih Indonesia, Kamis (21/5/2020).

Lebih jauh, Adinda mengatakan bahwa masyarakat sipil juga menikmati berkah reformasi dan kebebasan yang menyertainya. Di sisi lain, hal ini tidak menjamin bahwa kritik dan rekomendasi dari masyarakat sipil dipertimbangkan dan berdampak dalam proses kebijakan.

Apalagi masyarakat sipil dan kebebasan individu juga terancam dengan aturan seperti UU ITE, KUHP, dan juga KUHAP. “Lepas dari tantangan yang ada, kita harus tetap optimis akan demokrasi. Masyarakat sipil harus tetap melakukan ‘checks and balances’ dan meneruskan aktivismenya dengan proaktif. Hal ini penting, tidak hanya untuk ikut meningkatkan kesadaran masyarakat, namun juga mengajak masyarakat luas untuk ikut serta terlibat dalam partisipasi politik sebagai bagian dari warga negara dan kewarganegaraan.

Selain itu, kolaborasi dengan beragam pihak sangat penting sebagai bagian dari strategi dan upaya bersama untuk menjaga agenda reformasi, mendorong bahwa sistem dan lembaga-lembaga demokrasi berfungsi sebagaimana mestinya, serta menciptakan aktivisme yang berdampak positif dan berkelanjutan bagi demokrasi di Indonesia.” tegas Adinda.

Ubedilah Badrun (Dosen Universitas Islam Negeri Jakarta): “Jika merujuk pada gagasan substantif reformasi 98 yaitu ingin menghadirkan demokrasi, menghadirkan kesejahteraan rakyat, menegakan Hak Azasi, dan memberantas korupsi maka 22 tahun reformasi rapotnya merah” ujar Ubedilah Badrun aktivis 98 yang kini menjadi intelektual publik bidang sosial politik.

“Faktanya memang masih merah, misalnya Indeks Demokrasi kita dalam soal kebebasan sipil nilainya menurut the economist masih 5,5. Hak azasi manusia, kasus lama tidak diselesaikan malah bertambah kasus baru, seperti; penembakan 2 mahasiswa Universitas Haluuleo. Ekonomi memburuk dengan angka pertumbuhan ekonomi kwartal I 2020 hanya 2,97%. Korupsi makin parah, dari korupsi milyaran hingga triliunan rupiah, seperti kasus Harun Masiku dan kasus Jiwasraya” tegas Ubedilah Badrun.

Soal mengapa agenda Reformasi tidak dijalankan pemerintah? Ubedilah menjelaskan pemerintah dan parlemen tidak memiliki upaya untuk tuntaskan agenda reformasi. “Pemerintah dan parlemen telah berkhianat, mereka tidak berupaya serius untuk tuntaskan agenda reformasi. Mereka sibuk untuk memenuhi agenda masing masing. Agenda reformasi atau agenda besar bangsa ini tidak dijalankan secara serius. Aktivis yang di parlemen dan yang di istana juga terjebak dalam oligarki sehingga nalar kritisnya hilang” demikian ujar Ubedilah Badrun dalam diskusi peringatan 22 tahun reformasi yang diselenggarakan LIMA Indonesia, Exposit Strategic dan Komite Pemilih Indonesia secara online.

Ray Rangkuti (Direktur LIMA Indonesia):

Ray menilai bahwa tidak salah jika ditegaskan setelah pernyataan mundur yang menandai jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998, 21 tahun kemudian publik menggemakan tagar Reformasi Dikorupsi. Penegasan bahwa Reformasi Dikorupsi juga tidak berlebihan, sebab agenda-agenda reformasi memang mengalami kemunduran signifikan. Hal ini tampak nyata jika kita memerhatikan lemahnya penegakan HAM, menciutnya gerakan anti-korupsi, Parpol yang mempraktikkan nepotisme, pemerintah yang kurang transparan dan akuntabel, serta menguatnya politik identitas.

Dari segi fakta lapangan dan pembuatan aturan hukum, sebut Ray, DPR maupun pemerintah mengesankan langkah yang berlawanan dengan tujuan-tujuan awal reformasi. Sebut saja tentang UU KPK, Omnibus Law RUU Cipta Kerja, dan terakhir Perppu 1/2020 berkenaan penanganan Covid19. Selain prosesnya yang mengindikasikan ketertutupan, substansi dalam aturan-aturan tersebut juga berlawanan dengan prinsip pemerintahan bersih dan baik serta tidak sejalan dengan kehendak publik.

Pada sisi lain, Ray juga pesimis bahwa aktivis 98 yang masuk dalam kekuasaan mampu membawa agenda reformasi dalam kekuasaan. Alih-alih membantu perwujudan cita-cita reformasi, yang tampak justru bahwa mereka menjadi bagian dari siklus serupa yang sebelumnya terjadi pada aktivis 66 atau angkatan-angkatan berikutnya yang masuk dalam kekuasaan. Simbol-simbol perjuangan 98 banyak digunakan untuk menarik dukungan demi mendapatkan kekuasaan, tetapi setelahnya mereka banyak tidak peduli pada upaya perwujudan agenda reformasi.

Jeirry Sumampow (Koordinator Komite Pemilih Indonesia):

Setelah 22 tahun reformasi, demokrasi Indonesia kian mengalami banyak kemunduran. Kekuasaan makin terpusat, oligarkis dan represif, penegakan hukum makin jauh dari rasa keadilan rakyat sebab tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, lembaga anti-korupsi dikebiri, suara kritis diberangus, persoalan HAM makin terabaikan, kelompok minoritas masih sering tak dapat perhatian memadai, kesenjangan antar kaya dan miskin main lebar, proses pengelolaan pemerintahan makin jauh dari prinsip keterbukaan, desentralisasi politik mandek, dll.

Hal ini disebabkan oleh karena para elit demokrasi telah melupakan agenda perjuangan yang digulirkan ketika reformasi terjadi. Semua terjebak dan terbuai dengan mengejar dan mempertahankan kekuasaan semata, memperkaya diri, membangun retorika politik untuk pembelaan terhadap prilaku kekuasaan yang makin represif, dll. Spirit reformasi yang pada intinya ingin melakukan perbaikan iklim demokrasi secara substansial tak lagi dimiliki oleh para elit pemerintah dan politik kita. Demokrasi hanya menjadi alat semata untuk duduk di kursi kekuasaan. Tak muncul kepekaan terhadap persoalan riil masyarakat. Tak terlihat niat kuat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Bahkan para aktivis 98 yang kini berada dilingkungan kekuasaan pun berperilaku sama. Ini memang menyedihkan sebab para aktivis 98 inilah ketika itu yang berada di garis depan reformasi. Mereka semua ternyata tak berdaya untuk mempengaruhi proses pemerintahan dan proses politik yang kini terjadi. Mereka terkungkung dalam pusaran kekuasaan yang oligarkis yang dulu mereka protes dan kritik dengan lantang. Bahkan mereka pun kini nyaman menikmatinya.

Maka jika sekitar 10 tahun lalu kita mengatakan bahwa demokrasi kita dibajak oleh elit politik, itu betul sekali. Malah kini pembajakan itu makin kuat dan akut. Perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha didukung oleh kalangan agama, makin kokoh dan tak terbendung. Karena itu, maka suara-suara kritis publik pun seakan membentur tembok yang kokoh yang tak tergoyahkan. Situasi ini tentu harus dapat perhatian kita semua. Jika tidak maka Gerakan reformasi 98 akan sia-sia dan demokrasi kita akan makin rusak.

Demikian disampaikan Ray Rangkuti (Direktur Lima Indonesia), Jeirry Sumampow (Koordinator Komite Pemilih Indonesia)

Editor: Munif
http://suarapemred.co/news/nasional/read/82944/maju.mundur.demokrasi..refleksi.kritis.22.tahun.reformasi

Komentar