Heboh Soal Vaksin Palsu

Imunisasi untuk anak sudah terbukti sangat berguna untuk anak-anak. Dampaknya bukan hanya untuk menumbuhkan, menjaga dan memperkuat imunitas anak-anak di masa balita tapi juga untuk bekal di masa mendatang ketika umur mereka semakin bertambah. Artinya selain agar mencegah terkena berbagai penyakit, imunisasi juga penting untuk memastikan anak bisa tumbuh optimal.

Manfaat imunisasi bukan hanya dipercaya dan terbukti di negara kita tetapi juga sudah secara global. Sudah ada kurang lebih 194 negara di dunia menyatakan bahwa imunisasi terbukti aman dan bermanfaat mencegah wabah penyakit, cacat hingga kematian akibat penyakit berbahaya.

Namun, temuan adanya vaksin palsu beredar di Indonesia belakangan ini mengusik ‘kepercayaan’ kita semua. Bukan hanya orang tua yang telah menunaikan kewajiban mereka memberikan vaksin lengkap untuk anak-anak mereka, tapi masyarakat luas, pun pemerintah. Tindakan pemalsuan ini sudah dilakukan sejak tahun 2003 dan telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia.

Banyak pihak, mulai dari praktisi kesehatan hingga pemerintah menyatakan bahwa vaksin palsu tersebut tidak berbahaya. Hal ini karena kandungan vaksin palsu tersebut hanya berupa cairan infus dan beberapa komponen lain yang secara medis tidak akan membahayakan balita yang diberi vaksin tersebut.

Persoalannya menurut penulis bukan sebatas itu. Sederet manfaat yang harusnya bisa dinikmati oleh anak-anak tidak bisa mereka dapatkan. Tentu ini membahayakan kesehatan dan juga berpotensi menghambat tumbuh kembang mereka nantinya.

Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan kita terhadap kinerja pemerintah dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Mereka sebagai lembaga negara yang diamanatkan untuk mengawasi persoalan terkait obat dan makanan, seharusnya sudah bisa memastikan keamanan setiap produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia termasuk vaksin.

Terkait hal ini Penulis sepakat dengan Seto Mulyadi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang menyatakan bahwa beredarnya vaksin palsu adalah sebagai bentuk kelalaian banyak pihak. Bukan hanya pemerintah tetapi juga rumah sakit dan tempat layanan kesehatan yang lalai mengawasi dokter dan perawatnya sehingga vaksin palsu bisa masuk.

Lebih jauh, menurut penulis, kelalaian pihak pusat layanan kesehatan masyarakat terkait memastikan semua obat dan vaksin yang digunakan di tempat mereka sudah aman dan juga sampah rumah sakit mereka sudah ditangani dengan ketentuan yang seharusnya. Hal ini karena terkuat fakta bahwa botol bekas vaksin asli yang harusnya dimusnahkan sesuai prosedur seharusnya, malahan dikumpulkan dan dipergunakan sebagai wadah vaksin palsu. Sehingga secara kasat mata tak akan bisa membedakan vaksin palsu dengan yang asli.

Kita semua tentu geram melihat hal ini. Kita bisa memahami amarah dan kekesalan para orang tua yang berbondong-bondong datang ke pusat layanan kesehatan yang dinyatakan Kemenkes sudah terbukti menggunakan vaksin palsu. Namun, penting untuk menyikapi persoalan ini dengan bijak.

Tindakan yang diambil aparat penegak hukum dan juga pemerintah perlu kita apresiasi. Misalnya Kepolisian sudah menetapkan 23 tersangka terkait vaksin palsu terdiri dari enam produsen, sembilan distributor, dua pengumpul botol, satu pencetak label vaksin, dua bidan, dan tiga dokter.

Tindakan ini harusnya terus dikembangkan. Perlu dilakukan penyelidikan secara komprehensif bukan hanya terhadap praktek peredaran vaksin palsu tersebut, tetapi juga akar persoalan berikut aktor-aktor (intelektual) lain yang terlibat dalam kasus ini.

Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan yang telah mengumumkan beberapa rumah sakit dan tempat layanan kesehatan lainnya yang diyakini menggunakan vaksin palsu tersebut, haruslah terus melakukan investigasi kasus ini dan juga mengumumkan temuan mereka.

Masyarakat luas, termasuk orang tua juga harus lebih proaktif dan bijak menyikapi kasus ini. Mencari informasi terkait sebanyak mungkin, memberikan laporan ke pihak terkait jika mengetahui perihal peredaran vaksin palsu ini dan yang tak kalah penting adalah tidak main hakim sendiri. Tindakan ini tak akan menyelesaikan masalah, tapi malahan menimbulkan masalah baru bagi diri sendiri.

Lola Amelia, Peneliti Bidang Kebijakan Sosial di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. lola@theindonesianinstitute.com

Komentar