Dukungan Kebijakan bagi Tenaga Kerja Pada Masa Pandemi

Jakarta (29/1). Permasalahan genting yang dihadapi saat ini adalah tingginya tingkat pengangguran disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan. Gelombang tingkat pengangguran tersebut juga diperburuk dengan banyaknya lulusan pendidikan vokasional/pendidikan tinggi yang tidak terserap pula di dunia kerja di saat ekonomi sedang resesi. Banyak kebijakan dimunculkan dengan harapan dapat mengatasi hal tersebut, seperti Kartu Prakerja, RUU Ciptaker maupun fungsionalisasi Balai Latihan Kerja (BLK). Namun, realitasnya, terdapat beberapa catatan yang perlu dilihat terkait dengan potret ketenagakerjaan saat ini.

Pertama, adanya penambahan angka 2,67 juta orang yang menganggur pada Agustus 2020 menurut BPS, menjadi 9,77 juta pada tahun 2020. Sebenarnya, jika dilihat melalui berbagai data, para korban PHK/dirumahkan tersebut tidak langsung menjadi pengangguran terbuka, namun beralih ke sektor informal. Hal ini ditengarai oleh banyaknya transisi sektor formal menuju sektor informal pada masa krisis, dibuktikan dengan turunnya para pekerja penuh dari 71,04 persen menjadi 63,85 persen. Di samping itu, banyak pula pekerja yang sebenarnya melakukan pekerjaan paruh/setengah menganggur.

Melihat hal tersebut, kebijakan pun harus menyentuh dua struktur ekonomi, yakni struktur formal dan struktur informal. Untuk mendorong struktur formal dapat dilakukan melalui: insentif bagi perusahaan/industri untuk tidak melakukan efisiensi melalui PHK/pengurangan karyawan maupun melalui optimalisasi subsidi gaji karyawan (bagi pekerja sektor informal dgn gaji dibawah 5 juta). Sedangkan, untuk mendorong struktur informal: melakukan pendataan besaran dan klasifikasi pekerja struktur informal yang ada (apakah pekerja di sektor UMKM, freelance, dll). Jika memang demikian, kebijakan PEN yang menyasar UMKM, seperti bantuan produktif UMKM 2.4 juta, bantuan modal kerja, keringanan/relaksasi kredit, kemudahan dalam regulasi perizinan usaha, harus dipermudah. Hal ini akan mendorong struktur informal dapat bertahan. Apalagi, dalam konteks saat ini, banyak pemilik UMKM pun adalah usia muda 16-30 tahun yang membutuhkan dorongan bagi pemerintah untuk bertahan dan berkembang pada masa pandemi, yakni melalui dukungan informasi bantuan pendanaan, pelatihan keterampilan yang disokong oleh asosiasi usaha (APINDO, HIPMI, dll), inkubasi pengembangan bisnis, dan lain-lain.

Kemudian, terkait dengan kebijakan mengenai keterampilan kerja, seperti Kartu Prakerja dan BLK sebenarnya masih menimbulkan polemik di lapangan. Permasalahannya, pada praktik di ketenagakerjaan, problem mismatch (ketidakcocokan) antara kebutuhan industri dengan keterampilan pencari kerja masih besar sehingga banyak industri yang tidak bisa menyerap tingginya animo pencari kerja tersebut. Ketidaksesuaian ini juga terkait belum jelasnya manajemen BLK/Pendidikan vokasi untuk menghubungkan para peserta pelatihan mereka dengan industri melalui berbagai skema kemitraan/MOU sehingga para peserta pelatihan yang telah mengikuti pelatihan memang telah dipetakan untuk masuk ke industri yang sesuai.

Melihat hal tersebut, kebijakan yang perlu didorong adalah dengan melibatkan pihak swasta untuk terlibat dalam pelatihan keterampilan/vokasi, seperti: a) memberikan anggaran/kerja sama lainnya untuk pelatihan vokasi/keterampilan bekerja sama dengan BLK/pendidikan vokasi lainnya, b) mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang menyasar insentif bagi swasta yang berkontribusi terhadap pendidikan vokasi/keterampilan dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, bagi pekerja yang unskilled/kurang terampil, harus tetap dilakukan pendataan dan pemetaan yang dapat disalurkan kepada industri yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi, seperti industri konstruksi, operator, jasa lainnya.

Selain itu, terkait dengan tingginya tingkat pengangguran terampil (skilled labour) yang diharapkan masuk ke sektor formal, perlu ada mekanisme fiskal/alokasi anggaran dari pemerintah bagi swasta yang melakukan penyerapan tenaga kerja pada masa pandemi. Hal ini juga perlu disokong dengan mempermudah arus investasi bagi swasta untuk meningkatkan giat penyerapan tenaga kerja. Sedangkan, bagi skilled labour yang memang masuk ke struktur informal, perlu optimalisasi implementasi kebijakan PEN untuk struktur informal, seperti bantuan UMKM, relaksasi kredit, dll.

Selain itu, tantangan bagi lulusan baru adalah kurangnya pengalaman kerja. Hal ini dapat didorong dengan adanya program-program management trainee (MT), inkubasi pengembangan keterampilan (skill development program), dll, yang dilakukan oleh swasta guna merekrut tenaga kerja lulusan baru yang kurang pengalaman.

 

Kontak:

Nopitri Wahyuni

Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute

Komentar