Pada tanggal 7-18 November 2016 di Maroko dilangsungkan Conference of Parties United Nations Framework Convention on Climate Change, Konferensi Para Pihak UNFCCC yang ke-22 atau disebut juga dengan COP 22. COP kali ini menjadi penting karena akan menurunkan standar normatik pada The Paris Agreement ke dalam pelbagai strategi yang implementatif. Dengan catatan, strategi-strategi ini nantinya adalah yang bersifat kolaboratif antar bangsa atau pun jika menyangkut prinsip, disetujui oleh negara para pihak.
Konteks Indonesia, pada tanggal 19 Oktober 2016 lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mengesahkan RUU tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) menjadi Undang-undang (UU).
Materi pokok yang terdapat di dalam Persetujuan Paris mengenai Perubahan Iklim, antara lain: (1) Tujuan Persetujuan paris adalah untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pre-industri dan melakukan upaya rnembatasinya hingga di bawah 1,5°Celcius; (2) Kewajiban masing-rnasing Negara untuk menyampaikan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions). Kontribusi penurunan tersebut harus meningkat setiap periode, dan negara berkembang perlu mendapatkan dukungan untuk meningkatkan ambisi tersebut; (3) Komitmen Para Pihak untuk mencapai titik puncak emisi gas rumah kaca secepat mungkin dan melakukan upaya penurunan emisi secara cepat melalui aksi mitigasi; (4) Pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk aktivitas penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta pengelolaan hutan berkelanjutan, konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan termasuk melalui pembayaran berbasis hasil; (5) Pengembangan kerja sama sukarela antarnegara dalam rangka penurunan emisi termasuk melalui mekanisme pasar dan nonpasar.
Dalam konteks UNFCCC, UU ini menjadi bagian dari National Adaption Plans Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan besar, penting untuk aktif terlibat dalam pelbagai upaya penanggulangan perubahan iklim dunia. Indonesia, sebagai suatu negara yang dikarenakan letak geografis dan sejarah perlakuannya terhadap lingkungan, masuk ke dalam kategori negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim ini.
Beranjak dari catatan-catatan di atas, di dalam COP 22 Maroko, Indonesia penting aktif menyuarakan rekomendasi strategi untuk penanggulangan perubahan iklim ini.
Menurut penulis, salah satu poin yang patut diperhatikan dan kemudian disuarakan pada pertemuan ini oleh delegasi Indonesia adalah terkait isu kehutanan. Di dalam The Stern Review on the Economics of Climate Change (dikutip Saloh, 2012), mengatakan bahwa 75 persen dari emisi yang disebabkan oleh sektor kehutanan berasal dari deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Negara-negara tropis, yaitu Brazil, Kongo dan Indonesia. Lebih jauh untuk Indonesia, berdasarkan hasil studi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) 2010 menyebutkan bahwa 85 persen dari total emisi nasional Indonesia berasal dari alih guna lahan dan kehutanan.
Di sisi lain, Indonesia merupakan Negara hutan tropis ke-3 terbesar di dunia setelah Brazil dan Congo, sehingga secara bersamaan hutan Indonesia memiliki potensi besar menjadi solusi global dari perubahan iklim.
Hingga saat ini sektor ini masih menjadi perhatian bukan hanya pemerintah Indonesia, tapi juga masyarakat termasuk negara tetangga yang terdampak oleh persoalan kehutanan Indonesia. Penting kemudian mengangkat inisiatif-inisiatif lokal dan pemerintah Indonesia sendiri ke forum COP 22 dan kemudian mencari strategi bersama terutama dengan negara-negara tetangga Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim ini.
Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. lola@theindonesianinstitute.com