Bukan Pemimpin Setengah-Setengah

David Krisna AlkaKepemimpinan merupakan entitas melekat dalam dinamika politik Indonesia. Akselerasi politik Nasional dibangun dengan kuatnya kepemimpinan yang mampu mentransformasikan pendidikan politik kepada konstituennya.

Membangun kepemimpinan yang kuat juga menjadi problem di negeri ini. Memang, satu pemimpin tidak bisa menyelesaikan semua persoalan bangsa dan negara. Sulit dipungkiri, tipe masyarakat Indonesia masih sangat kuat terpengaruh oleh para pemimpin. Pertanyaannya, pemimpin macam apa yang dibutuhkan ketika kita kebingunan menoleh kiri-kanan belum merasa menemukan sosok yang sepadan dengan tantangan zaman.

Pemimpin adalah sosok yang memiliki kepribadian, karakter, visi, komitmen, dan menjadi teladan bagi rakyatnya. Tugas pemimpin yang paling mendesak saat ini adalah menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan kekuasaan, wewenang, dan kesempatan untuk kepentingan sendiri dan golongannya atau koalisi partai yang mendukungnya. Sehingga, pemimpin itu mampu menghentikan proses degradasi dan demoralisasi bangsa dalam urutan yang paling sentral dan menentukan, yakni dalam penyelenggaraan kekuasaan.

Sisi lain, rakyat jangan dikondisikan sekadar membeo kepada pemimpin. Apalagi menjadi obyek tipu-daya dan pembodohan diam-diam demi kepentingan pemimpin. Sehingga segala sesuatu keputusan pemimpin harus diterima dengan sukarela.  Bung Hatta mengatakan, “Negara yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya”, tulis Hatta, “tidak memiliki kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh.” Jika demikian rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya, sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja, rakyat akan tetap tertindas oleh orang yang berkuasa.

Karena itu, tugas pemimpin juga mendidik rakyat, bukan memperalat rakyat. Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran rakyat, serta memberi inspirasi supaya rakyat bisa keluar dari kesulitan yang membebaninya. Selain soal itu adalah soal kebajikan politik.  Good civilization tentu dihasilkan dari jiwa kepemimpinan yang mempunyai berperadaban tinggi. Sebaliknya bad civilization akan dihasilkan oleh pemimpin yang berperadaban buruk. Tolok ukurnya terletak pada tujuannya saat menjadi penguasa. Apakah kekuasaannya hanya berorientasi pada kepentingannya pribadi ataukah kekuasaan yang berorientasi demi kepentingan bangsa dan negaranya.

Di sinilah persoalan penting dari berbagai kritik tentang corak kepemimpinan Nasional di negeri ini. Diperlukan kemampuan pemimpin untuk dapat mengoneksikan nilai-nilai bersama (Pancasila) yang dipilih untuk menjadi suluh penunjuk bagi kehidupan republik. Praksis memimpin yang dapat menggerakkan aparat kenegaraan dan mendorong partisipasi rakyat untuk mencapai kebaikan publik.
Pemimpin, terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri dan memiliki karakter yang mumpuni.  Kita tak ingin terjebak diantara dua gravitasi, penguasa dan pengusaha di satu pihak dan kepentingan individual di lain pihak. Sehingga diantara itu terdapat rongga kosong yang ditelantarkan, yaitu masyarakat bangsa dan rakyat banyak.

Demikianlah, masalah kepemimpinan disorot sebagai persoalan besar yang dihadapi bangsa ini.  Memang, kita berharap pemimpin sekarang mampu menjawab tantangan masa kini dan masa depan negeri ini. Pemimpin yang menyinari teladan, diikuti oleh suatu kecerdasan dan kecakapan dalam  memimpin dan menyelenggarakan pemerintah di Indonesia yang berpenduduk besar, berkepulauan majemuk serta mengalami krisis kepercayaan terhadap politisi.

Hermann Broch (1886 – 1951) berkata, pemimpin adalah eksponen dari sebuah sistem nilai dan sebagai yang memikul dinamikanya. Pemimpin kemudian nampak, pertama-tama sebagai simbol dari sistem nilai tersebut. Dalam konteks ini, sistem nilai tersebut adalah Pancasila sebagai inti ideologi. Pancasila kelimanya merupakan kesatuan ibarat suatu tembok batu yang segala bagiannya sendi-menyendi, sokong-menyokong satu sama lain.

Jadi, kita butuh pemimpin yang menggerakkan roda pemerintahan menjadi lebih baik dan tidak sekadar omong dan rapat yang tak bernilai, tetapi get things done terlaksana. Alhasil, kesetiaan pemimpin kepada partainya atau pendukung koalisinya harus berakhir ketika kesetiaannya kepada negara dan bangsa dimulai.  Begitulah, sudah menjadi tugas para pemimpin, untuk mempercepat proses pencerdasan dan pencerahan untuk kepentingan bangsa ini secara keseluruhan, bukan pemimpin yang setengah-setengah.

Penulis: David Krisna Alka (Research Associate, The Indonesian Institute), davidkrisna@gmail.com

Komentar