Setiap kita pasti akan meradang, marah dan juga sedih mendengar pemberitaan tentang pelecehan seksual yang dialami oleh anak Taman Kanak-Kanak (TK) di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Bertambah miris ketika mendapati temuan fakta bahwa pelakunya bukanlah tunggal.
Bayangan akan kesakitan dan dampak yang diterima anak pada saat dan paska pelecehan terjadi membuat kita marah dan kecewa. Marah kepada para pelaku, dan kecewa akan lalainya para pihak dalam memberikan perlindungan pada anak agar terhindar dari tindak pelecehan seksual, dalam kasus ini pihak sekolah.
Hal ini adalah karena, dampak fisik dan psikis yang dialami oleh korban kekerasan seksual, tidak bisa disepelekan. Dalam kasus ini misalnya, si korban diduga terpapar beberapa penyakit menular seksual dari pelaku. Di sisi psikis, si korban mengalami trauma. Lebih jauh, dampak yang bersifat fisik dan psikis ini potensial akan berlangsung dalam jangka panjang, mengingat si korban yang masih berusia sekitar 6 tahun.
Terlebih saat temuan kasus satu ini diikuti dengan data dari Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait yang mengatakan saat ini ada sebanyak 239 kasus kekerasan pada anak yang terjadi di Jakarta dan 52 persennya adalah kasus kekerasan seksual (Tempo.co,16/4).
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak adalah apabila seseorang menggunakan anak untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan seksual. Tidak terbatas pada hubungan seksual saja.
Tindakan-tindakan lain yang juga termasuk kekerasan seksual pada anak adalah: Menyentuh tubuh anak secara seksual, baik si anak memakai pakaian atau tidak; segala bentuk penetrasi seks, termasuk penetrasi ke mulut anak menggunakan benda atau anggota tubuh; membuat/ memaksa anak terlibat dalam aktivitas seksual.
Kemudian tindakan yang secara sengaja melakukan aktivitas seksual di hadapan anak, atau tidak melindungi dan mencegah anak menyaksikan aktivitas seksual yang dilakukan orang lain; membuat, mendistribusikan dan menampilkan gambar atau film yang mengandung adegan anak-anak dalam pose atau tindakan tidak senonoh; memperlihatkan kepada anak, gambar, foto atau film yang menampilkan aktivitas seksual.
Terlihat kemudian bahwa banyak sekali tindakan yang termasuk ke ranah kekerasan seksual pada anak. Artinya, pertama, besar kemungkinan atau anak sangat rentan terpapar akan tindak kekerasan seksual, kedua, kekerasan seksual bisa menimpa anak dimana saja, di ruang publik maupun ruang privat seperti di lingkungan keluarga. Ketiga, pelaku kekerasan seksual pada anak bisa siapa saja, tidak terbatas kepada orang asing bagi mereka, tetapi juga orang-orang yang sudah mereka kenal dengan baik.
Kemudian, fakta lain dari kasus kekerasan seksual anak yang sedang ramai diperbincangkan di media adalah, bahwa korban tidak serta merta melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya kepada orang tua atau pun guru. Hal ini jamak dijumpai pada banyak korban kekerasan seksual termasuk anak, dan biasanya karena adanya ancaman dari pelaku.
Oleh karena itu, kepekaan dari lingkungan terdekatlah yang diperlukan untuk bisa mengetahui “ada sesuatu” pada anak. Kepekaan untuk melihat perubahan perilaku dan kebiasaan anak serta mencari tahu penyebabnya sebelum kemudian mengambil tindakan untuk memulihkan anak ke ‘kondisi semula’.
Untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak TK internasional ini, hal yang harus segera dilakukan mengingat sudah banyak temuan fakta bahwa benar sudah terjadi kekerasan seksual, adalah memproses secara hukum para pelaku kekerasan seksual tersebut dan kemudian melakukan pemulihan fisik dan psikis terhadap korban anak.
Pada akhirnya, peristiwa ini juga menjadi momentum untuk semua pihak, orang tua, pihak sekolah, pemerintah untuk melakukan introspeksi diri dalam kewajiban kita memberikan perlindungan rasa aman terhadap anak dari berbagai bentuk tindak kekerasan termasuk kekerasan seksual.
Lola Amelia
ameliaislola@gmail.com