Dalam acara Penutupan Musyawarah Nasional VI Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di Hotel Sultan, Jakarta, Senin 29 September 2025 yang lalu dilansir dari nasional.kompas.com (29 September 2025), Presiden Prabowo Subianto mengatakan telah menutup 1.000 tambang ilegal yang ada di Kepulauan Bangka Belitung. Pada 1 September 2025, dirinya pun memerintahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan untuk menggelar operasi penutupan jalur penyelundupan timah yang ditambang secara ilegal dari 1.000 lokasi tersebut. Sekitar 80 persen timah yang diselundupkan berhasil ditutup dalam operasi ini.
Presiden Prabowo juga menyebutkan bahwa penutupan tambang timah ilegal dan blokade jalur-jalur penyelundupan di wilayah Kepulauan Bangka Belitung tersebut akan berpotensi menyelamatkan keuangan negara hingga Rp22 triliun pada periode September-Desember 2025 dan mencapai Rp45 triliun hingga tahun 2026 (ANTARA, 29 September 2025). Keseriusan Presiden Prabowo dalam menutup tambang ilegal ini juga terlihat ketika Presiden memanggil sejumlah Menteri Kabinet Merah Putih (KMP) dan beberapa kepala lembaga ke kediaman pribadinya di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Selasa malam, 19 Agustus 2025 (setneg.go.id, 19 Agustus 2025). Adapun yang hadir pada saat itu diantaranya Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Dilansir dari situs Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia (setneg.go.id, 19 Agustus 2025), Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, Teddy Indra Wijaya, menuturkan bahwa pertemuan yang dilakukan selama lebih dari empat jam tersebut membahas soal penertiban kawasan hutan dan tambang ilegal. Presiden Prabowo dalam Pidato Kenegaraan beberapa waktu lalu juga dengan tegas berkomitmen untuk menindak siapa pun yang melanggar hukum, tanpa memandang status maupun kekuatan ekonomi (setneg.go.id, 19 Agustus 2025).
Penutupan tambang ilegal tersebut sejatinya merupakan salah satu langkah konkret dari visi Asta Cita Presiden Prabowo, terutama Asta Cita ke-7, yaitu ”memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.” Hal ini dikarenakan Indonesia sendiri masih sangat berkutat dalam permasalahan akut korupsi, ketidaktransparansian, dan berbelit-belitnya birokasi yang mana memunculkan pertambangan ilegal ini. Kemunculan pertambangan ilegal tidak hanya mengurangi pendapatan negara dari, misalnya, pajak karbon maupun pajak tambang, tetapi juga merusak lingkungan dan wilayah sekitar tambang karena seringkali menggunakan cara-cara yang berbahaya dalam melakukan penambangan, seperti menggunakan bom dinamit.
Lalu, mengapa pertambangan ilegal bisa muncul? Berdasarkan beberapa kajian dan literatur, ada beberapa hal yang mendorong kemunculannya. Pertama, birokrasi dan perizinan yang berbelit-belit. Misalnya, proses perizinan berusaha dan investasi di Indonesia masih memerlukan waktu lama dan melalui persetujuan banyak pihak. Selain itu, masih terdapat ego sektoral dan rendahnya orientasi kinerja yang mana praktik korupsi pun masih sering terjadi (fia.ui.ac.id, 7 Maret 2024). Ketika akses dibatasi, prosedur yang kompleks, ditambah dengan mahalnya biaya ’kepatuhan’, maka pelaku usaha akan beralih ke jalur ilegal.
Kedua, masih minimnya transparansi dan praktik korupsi yang juga terlihat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024 (2025) oleh Transparansi Internasional Indonesia di mana angkanya 37 dari 100. Walaupun angka ini meningkat dari sebelumnya 34 dari 100 di tahun 2023, angka IPK 2024 tersebut sama dengan angka IPK pada tahun 2016, 2017, dan 2020. Angka IPK Indonesia tertinggi adalah 40 dari 100 pada tahun 2019. Ketika transparansi hilang, perizinan bagi usaha ilegal tersebut dapat berpotensi dilindungi oleh berbagai kepentingan politik atau elit tertentu. Perlindungan maupun toleransi-toleransi yang diberikan tersebut akan semakin mempersubur praktik-praktik korupsi.
Ketiga, masih lemahnya penegakan hukum dan kepemimpinan lembaga yang ada. Hal ini terlihat dari masih adanya tumpang tindih kewenangan antar lembaga pemerintah baik di pusat dan daerah yang juga berpotensi dalam meningkatkan biaya ’kepatuhan’. Lemahnya penegakan hukum Indonesia dapat dilihat dari rendahnya nilai-nilai komponen dalam indikator Rule of Law berdasarkan Index of Economic Freedom 2025 (2025) oleh The Heritage Foundation. Adapun nilai komponen dalam indikator Rule of Law tersebut, yaitu 1) Hak Kepemilikan (Property Rights) dengan nilai 39,8 dari 100; 2) Efektivitas Peradilan (Judicial Effectiveness) dengan nilai 45,3 dari 100; serta 3) Integritas Pemerintah (Government Integrity) dengan nilai 40,1 dari 100. Ketiga komponen tersebut pun masuk dalam kategori ”Repressed”.
Bagaimana upaya selanjutnya yang dapat dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo agar pertambangan ilegal tidak muncul kembali? Ada beberapa rekomendasi kebijakan yang harus diimplementasi pemerintahan Presiden Prabowo. Pertama, untuk memperkuat birokrasi dan menghilangkan perizinan yang berbelit-belit, pemerintah dapat memperkuat integrasi digital Online Single Submission (OSS) yang sudah ada, mendorong kepemimpinan lembaga berbasis meritokrasi untuk meningkatkan efektivitas kinerja yang transparan dan minim penyalahgunaan.
Kedua, untuk mendorong transparansi dan memperkuat pemberantasan korupsi, pemerintah dapat mempublikasikan data perusahaan-perusahaan tambang yang tidak berizin maupun yang sudah ditutup ke dashboard digital yang dapat diakses secara luas dan mudah oleh publik, mirip seperti bagaimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melampirkan perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal. Selain memberikan edukasi kepada masyarakat, upaya tersebut adalah bentuk kehadiran pemerintah untuk melindungi masyarakat. Selain itu, pemerintah dapat memperkuat modal manusia di lembaga pemberantasan korupsi maupun aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi guna mencapai visi yang dituangkan dalam Asta Cita secara optimal.
Ketiga, untuk memperkuat penegakan hukum dan kepemimpinan lembaga yang ada, pemerintah dapat memperkuat kode etik dan kinerja pejabat daerah dan penegak hukum di daerah tambang, mendorong kapasitas peradilan lingkungan dan ekonomi di kasus tambang ilegal agar dapat ditangani secara cepat, optimal, dan adil, serta memperkuat dan mempercepat sertifikasi hak tanah di wilayah tambah agar masyarakat semakin aman dan tidak dimanfaatkan oleh pertambangan ilegal.
Presiden Prabowo Subianto telah melakukan aksi nyata untuk mendorong pemberantasan pertambangan ilegal yang telah merugikan negara dan seluruh masyarakat Indonesia. Kita semua, baik masyarakat sipil, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat sipil, media, dan seluruh pihak terkait harus dapat menjaga upaya pemerintah tersebut berdasarkan perannya masing-masing demi Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
putu@theindonesianinstitute.com