Isu perkawinan beda agama sudah menjadi diskusi panjang yang dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia. Mulai pejabat pemerintah, rohaniawan, hingga rakyat biasa membicarakan isu yang cukup sensitif ini. Saat ini isu tersebut kembali dipermasalahkan secara hukum oleh beberapa orang dengan mengajukan pengujian undang-undang terkait perkawinan beda agama.
Peraturan yang diuji adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Ketentuan yang tercantum adalah mengenai sahnya sebuah perkawinan hanya jika dilaksanakan menurut hukum agama masing-masing. Artinya adalah sebuah perkawinan harus tunduk kepada salah satu hukum agama yang diimani oleh mempelai.
Para pemohon pengujian undang-undang tersebut mendalilkan bahwa Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Menurut pemohon bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bentuk pembatasan hak warga negara untuk melangsungkan perkawinan.
Secara jelas pemohon meragukan konstitusionalitas ketentuan yang dianggap tidak memberikan ruang bagi pasangan beda agama untuk melakukan perkawinan. Isu konstitusionalitas suatu norma adalah jika ketentuan yang diuji merugikan hak konstitusional pemohon dan substansinya bertentangan dengan konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945.
UU Perkawinan dibentuk pada tahun 1974 sebagai aturan pengganti dari beberapa ketentuan hukum perdata barat kolonial dan adat. Tentunya semangat pembentuk UU saat itu sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk membentuk suatu kesatuan hukum perkawinan nasional.
UUD 1945 yang mengalami proses empat kali amandemen sepanjang 1999-2002 diubah dengan semangat menjunjung tinggi hak asasi warga negara dan memasukkannya dalam batang tubuh UUD 1945. Pertanyaannya, apakah semangat penguatan hak asasi warga negara di UUD 1945 hasil amandemen juga terdapat dalam UU Perkawinan?
Jika Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan diputus tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK, pertanyaan yang kemudian muncul adalah hukum apa yang digunakan untuk mengesahkan sebuah perkawinan? Sistem yang selama ini berjalan menetapkan bahwa sahnya perkawinan karena dilaksanakan berdasar hukum agama.
Masalah konstitusionalitas perkawinan beda agama sebaiknya tidak hanya berpatokan pada teks UUD 1945. Living constitution yang berlaku di masyarakat harus turut dipertimbangkan. Hukum Perkawinan menyangkut hak dasar yang dimiliki oleh warga negara, oleh karena itu pengaturannya jangan sampai menimbulkan kontroversi.
Asrul Ibrahim Nur, Peneliti Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. asrul.ibrahimnur@gmail.com