Menggoyang KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali digoyang. Upaya pelemahan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi kembali dilakukan. Kali ini, sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menggulirkan revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke dalam daftar program legislasi nasional 2016.

 

Revisi UU KPK diusulkan oleh 45 anggota DPR dari 6 fraksi dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR yang berlangsung Selasa (6/10/2015). Dari 45 anggota sebanyak 15 orang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan, 9 orang dari Golkar, 2 orang dari PKB, 11 orang dari Nasdem, 3 orang dari Hanura, dan 5 orang dari PPP (kompas.com, 8/10)

Ada sejumlah pasal yang diusulkan untuk merevisi UU KPK, yaitu; pertama, Pasal 5 dimana dalam revisi ini usia KPK dibatasi hanya sampai 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Pembatasan usia KPK sama saja dengan mengantarkan institusi ini ke liang lahatnya. Kedua, Pasal 7 huruf d disebutkan bahwa KPK tak berwenang melakukan penuntutan. KPK tidak lagi memiliki kewenangan menuntut, dan proses penanganan perkara KPK.

Ketiga, Pasal 13 disebutkan bahwa kasus dibawah 50 miliar dilimpahkan kepada Kejaksaan dan Kepolisian. Pelaksanan Tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrrachman Ruki mengatakan pembatasan penanganan perkara di atas 50 miliar yang ada dalam draf revisi tersebut tidak mendasar,karena KPK fokusnya kepada subjek hukum, bukan kerugian negara (liputan6.com, 7/10)

Keempat, Pasal 14 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa penyadapan yang dilakukan oleh KPK harus seizin Ketua Pengadilan Negeri. Permintaan izin penyadapan ini dikhawatirkan justru memperbesar potensi bocornya informasi kepada subjek yang ingin disadap, sehingga proses pengungkapan perkara akan semakin lama. Kelima, Pasal 40, mengenai kewenangan lembaga tersebut menerbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3). Kewenangan menerbitkan SP3 justru akan membawa KPK ke level kewenangan yang tidak berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan, sangat jauh dari semangat awal pembentukannya (detik.com, 7/10).

Padahal usulan untuk merevisi UU KPK sebagai upaya pelemahan KPK telah dimentahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada medio Juni lalu. Pada saat itu, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk menarik usulan revisi UU KPK dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015.

Menurut penulis, usulan untuk merevisi UU KPK yang tengah bergulir saat ini juga harus ditolak. Keberadaan KPK masih sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) yang dirilis oleh Transparency International (TI) pada akhir tahun 2014 menempatkan Indonesia diurutan 107 dari 175 negara di dunia. Artinya Indonesia masih dalam kategori Negara yang memiliki level korupsi yang tinggi.

Selanjutnya, KPK sebagai lembaga Ad Hoc masih dibutuhkan, di tengah institusi penegak hukum lainnya yang masih belum terbebas dari praktik korupsi. Masih banyaknya kasus korupsi yang melibatkan oknum Hakim, Polisi, Jaksa, dan Pengacara membuktikan pentingnya institusi penegak hukum yang lebih bersih seperti KPK.

Suara-suara penolakan pelemahan KPK yang datang dari sejumlah tokoh, aktivis hingga petisi di dunia maya, seperti petisi yang dibuat di laman Change.org/JanganBunuhKPK, sampai 11 Oktober 2015, tercatat sudah mendapat dukungan 40.604 pendukung. Harus segera direspon oleh Presiden Jokowi dan Pimpinan DPR. Hal ini jangan sampai membuat kegaduhan politik yang berlarut. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan oleh DPR dan mitranya pemerintah yang kaitannya dengan pembuatan perundang-undangan.

 

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar