Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar mengatakan tidak sedang ingin mencari masalah dengan Menko Marves (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) Luhut Binsar Pandjaitan terkait masalah tambang emas di Intan Jaya, Papua. Hal tersebut disampaikan Haris saat menanggapi kesaksian Luhut dalam kasus dugaan pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (CNN Indonesia, 9/6/2023).
Selain dari pemberitaan dinamika politik yang begitu banyak menghabiskan energi, kasus Haris-Fatia akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian khususnya di kalangan kelompok masyarakat sipil. Kasus Haris-Fatia terkait tuduhan penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik atas Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan memunculkan banyak kritik baik selama dalam proses persidangan maupun keterangan yang diberikan oleh pihak saksi terutama oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Haris Azhar adalah direktur dari organisasi kemasyarakatan (Ormas) Lokataru yang juga selama ini dikenal sebagai aktivis HAM. Sedangkan Fatia merupakan Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang telah menjabat sejak tahun 2020 dan merupakan lulusan dari jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan. Dengan rekam jejak keduanya di kelembagaan non pemerintah serta aktivitas advokasi yang dilakukan selama ini menjelaskan bahwa keduanya bukanlah orang biasa. Kasus yang menimpa oleh Haris-Fatia hanya merupakan ‘puncak gunung es’ yang tampak dari kasus kriminalisasi para aktivis.
Kasus kriminalisasi aktivis yang marak dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sebuah tanda bahaya yang serius akan situasi demokrasi saat ini. Hal tersebut terbukti dengan pembungkaman kebebasan berpendapat para aktivis HAM yang tidak hanya dijerat oleh Undang-Undang ITE, namun dengan pasal berlapis seperti pencemaran nama baik. Padahal kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi merupakan hak yang dijamin dalam konstitusi.
Amanah perubahan Undang-Undang RI tahun 1945 pada Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Artinya, setiap individu dalam kedudukan hukum memiliki hak untuk bebas berpendapat (termasuk dalam bentuk ekspresi), mengadakan perkumpulan dan berserikat dalam satu kesatuan badan hukum yang terstruktur. Meskipun masih terdapat penafsiran yang berbeda dalam memaknai kebebasan dan berekspresi, namun hal ini tidak seharusnya menjadikan setiap individu maupun kelompok masyarakat sipil yang bekerja di bidang usaha pembelaan masyarakat terjerat akibat penafsiran makna yang berbeda oleh pemerintah.
Kelompok masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawal seluruh proses kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, mengeluarkan kritik dan masukan merupakan bentuk bagian pekerjaan mereka yang tidak bisa dilepaskan. Kritik dan masukan yang selama ini ditujukan seharusnya dapat menjadi sebuah bahan evaluasi pemerintah terhadap pelaksanaan kebijakan yang selama ini telah dilakukan.
Meskipun selama ini pemerintah dan Ormas dinilai memiliki ‘jarak’, namun pemerintah sebagai pembuat kebijakan seharusnya menempatkan kelompok masyarakat sipil tersebut sebagai mitra dalam pembangunan. Kelompok masyarakat sipil disadari atau tidak, secara langsung maupun tidak langsung, menjadi perpanjangan tangan sekaligus mitra pemerintah, serta pengawas dan pemberi kritik, dalam membantu menguraikan beragam permasalahan masyarakat yang tidak semua dapat diatasi oleh pemerintah.
Oleh sebab itu, pemerintah sebagai pembuat kebijakan beserta jajarannya perlu duduk bersama untuk membangun hubungan komunikasi yang harmonis dan berkolaborasi dengan beragam pemangku kepentingan, termasuk dengan berbagai Ormas. Salah satunya adalah dengan membangun kemitraan yang setara dengan pelibatan Ormas dalam proses kebijakan di beragam sektor.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)