Kampanye Pilpres 2019 dan Partisipasi Masyarakat

Minggu, 23 September 2018 merupakan hari pertama dimulainya kampanye pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Berdasarkan tahapan program dan jadwal penyelenggaraan Pemilu 2019 yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahapan kampanye Pemilu 2019 akan dilaksanakan pada 23 September 2018 sampai dengan 13 April 2019.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, kampanye merupakan kegiatan penting yang dilakukan dalam ajang kontestasi politik. Tujuan kampanye politik itu adalah untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu hal atau seorang kandidat. Kampanye merupakan cara mempengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap, dan perilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan pemberi informasi (Cangara, 2009). Sedangkan menurut Pfau dan Parrot (dalam Gun Gun Heryanto, 2013), tujuan kampanye adalah mempengaruhi khalayak untuk memilih pasangan calon.

Namun, kampanye Pilpres 2019 dibayangi dengan meningkatnya penyebaran berita hoaks yang mengarah pada kampanye negatif. Hal ini akan membuat kerugian bagi kandidat, terutama masyarakat sebagai pemilih. Penyebaran berita hoaks marak dilakukan melalui situs berita online. Selanjutnya dari pemberitaan di situs berita online, berita hoaks tersebut disebarluaskan melalui jejaring media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan lain-lain.

Memilih pasangan calon merupakan bentuk dari partisipasi politik dan wujud dari kesadaran politik masyarakat. Menurut Surbakti (2007), kesadaran politik adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiardjo, 1985).

Lebih jauh, Jeffry M. Paige dalam Surbakti (2007), menyebutkan salah satu variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang, adalah kesadaran politik.  Jika kampanye Pemilu 2019 banyak diisi oleh informasi hoaks yang mengarah pada kampanye negative, dikhawatirkan tingkat partisipasi masyarakat akan menurun.

Oleh karena itu menurut penulis, pertama, sangat penting untuk disadari oleh kedua tim pasangan calon ini untuk menciptakan kampanye yang mendidik. Kampanye yang mendidik seharusnya menekankan pada diskusi gagasan dari kedua pasang calon di arena publik.

Perdebatan gagasan di ranah publik bertujuan untuk menghasilkan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi. Sudah seharusnya kampanye dijadikan ruang pendidikan politik masyarakat guna membentuk tatanan masyarakat yang lebih demokratis.

Kedua, penting bagi media massa dan kelompok masyarakat sipil untuk mendorong penguatan literasi media bagi masyarakat. Definisi literasi media sendiri, yaitu kemampuan memiliki akses ke media, memahami media, menciptakan dan mengekspresikan diri untuk menggunakan media (Buckingham 2005, Livingstone 2005). Penguatan literasi media akan menumbuhkan pemahaman kritis masyarakat terkait informasi yang beredar. Masyarakat akan dapat memilah informasi yang didapat, apakah hal itu hoaks atau tidak.

Ketiga, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu harus bersikap tegas dalam menjatuhkan sanksi kepada tim sukses maupun tim relawan pendukung yang melakukan kampanye hitam. Bawaslu juga diharapkan mempublikasikan tim sukses/ relawan pendukung manakah yang paling sering melakukan aksi kampanye hitam, agar publik dapat menilai dan menjadi pembelajaran publik.

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar