Potensi Ruang Bebas Tanpa Kesetaraan
Setelah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program Dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada 2020 (PKPU 5/2020) diundangkan, tahapan lanjutan Pilkada pun secara legal kembali terlaksana per 15 Juni lalu. Saat masih diformulasikan, rancangan PKPU 5/2020 ini menghadirkan banyak dialog baik dari penyelenggara, pemerintah, maupun DPR. Salah satu perbincangan yang sempat terlontar adalah perihal penggodokan aturan terkait kampanye daring. Ketua KPU Arief Budiman di satu kesempatan bahkan mengatakan bahwa perancangan aturan ini sudah mulai dijalankan oleh KPU.
Namun, praktik berkampanye daring senyatanya memang sudah berlangsung pada Pilkada terdahulu. Semisalnya saja pada gelaran Pilkada DKI Jakarta 2012, yang mampu memunculkan pergerakan relawan daring bernama Jokowi Ahok Social Media Volunteers atau Jasmev. Bahkan, gerakan yang sama muncul kembali saat Joko Widodo maju sebagai kandidat Presiden RI di 2014, dengan sedikit perubahan nama yaitu Jokowi Advanced Social Media Volunteers (Jasmev 2014). Potensi semacam itu lantas menjadikan rencana meregulasikan praktik kampanye daring secara lebih terperinci patut kita nantikan.
Akan tetapi, ketika dihadapkan pada pelaksanaan Pilkada di Desember nanti, wacana menggeser sebagian cara berkampanye ke media sosial tidak juga terlepas dari tantangan. Mengingat catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 207 kepala daerah dan 244 wakil kepala daerah yang berkesempatan untuk mencalonkan diri kembali. Dari kondisi itulah, isu ketimpangan dalam berkampanye yang disebabkan kuasa dan sumber daya yang melekat pada petahana jika kembali berkontestasi menjadi menguat. Sebab kita pun harus mengakui bahwa otoritas yang melekat pada petahana adalah keunggulan. Kasus politisasi bantuan sosial (bansos) dengan sangat baik menggambarkan akses yang dimiliki petahana nyatanya memiliki kemampuan untuk mempolitisasi dan menyulapnya untuk membangun citra diri.
Di sisi lain, studi tentang ranah digital yang masih terus berlanjut tidak serta merta menghentikan laju penggunaan ruang tersebut dalam tataran praktisnya. Syahdan, media sosial sudah menjadi ladang pertarungan politik bahkan tanpa kita sadari mulanya.
Ranah digital yang mudah diakses oleh pemilih merupakan modal penting sebagai sarana penyebaran informasi sekaligus menjadi bagian dari strategi pemenangan calon. Besarnya arus informasi di media sosial akhirnya sering membuat pemilih terjebak. Karena secara tidak sadar, keputusan politik yang akan diambilnya dalam bilik suara telah dipengaruhi oleh muatan dari informasi tertentu yang sempat menerpa mereka.
Menjadi dominannya arus informasi dari salah satu calon sudah pasti mendatangkan kerugian. Mengadu tawaran program, visi, misi, hingga simbol sebagai sebuah pertarungan yang ideal tergerus dengan tekanan informasi yang dilancarkan secara masif melalui tim kampanye, relawan, dan bahkan akun-akun bermuatan kampanye yang tidak terdaftar secara resmi oleh penyelenggara pemilihan.
Belum lagi, para calon penantang petahana tidak selalu dibekali dengan loyalitas massa yang besar. Kontrasnya peran loyalitas menjadi logis, sebab calon penantang petahana memiliki keterbatasan dalam membayar jasa para pendukungnya. Sementara petahana di sisi lain memiliki segala kepastian yang lebih dibutuhkan, karena kuasanya menubuh pada perangkat pemerintahan. Kondisi timpang seperti itu sangat riskan menciderai semangat berkampanye.
Padahal secara umum, PKPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pilkada (PKPU 4/2017) sendiri menekankan pada aspek kesetaraan kesempatan bagi setiap pasangan calon dalam melaksanakan kampanye. Hal itu bisa dilihat dari Pasal 56 aturan ini yang mewajibkan media massa, media elektronik, dan lembaga penyiaran untuk menghadirkan pemberitaan adil dan berimbang untuk setiap calon. Semangat dalam memberikan kesempatan yang sama juga bisa dimaknai dari bagaimana KPU turut mengambil peran dalam memfasilitasi beberapa tahapan kampanye, seperti yang tertera di Pasal 23, Pasal 28, dan Pasal 32 PKPU 4/2017.
Menjembatani Kandidat dan Pemilih
Jika semangat kesetaraan dalam PKPU Kampanye Pilkada akan diadopsi dalam ketentuan berkampanye secara digital, KPU harus bisa menghadirkan landasan argumen yang kuat. Sebab, ketentuan berkampanye yang rigit seperti pembatasan durasi dan jumlah spot kampanye di media massa dan elektronik, hingga ukuran materi kampanye cetak dalam berkampanye secara manual tidak bisa secara utuh dijadikan rujukan dalam menyusun ketentuan kampanye daring.
Titik tekan dari regulasi kampanye daring bukanlah di soal membatasi perbincangan, tetapi bagaimana momen keriuhan yang ada dapat digunakan oleh seluruh pasangan calon kepala daerah untuk menyentuh dan bisa tampak bagi calon pemilihnya. Sehingga pemilih disajikan oleh ragam program, visi, dan misi yang selanjutnya menjadi bahan pertimbangan sebelum mereka menentukan pilihan.
Yang juga tidak kalah penting, rancangan peraturan berkampanye digital seyogianya dibarengi oleh pelaksanaan literasi media yang masif pada masyarakat. Pemilih yang cerdas akan bisa memilah informasi yang diterima serta memilih informasi apa yang ia butuhkan. Sehingga, kesetaraan tercipta bukan hanya dari ketentuan main yang mengikat para calon, namun juga dari para pemilih yang secara aktif mencari tahu apa saja pilihan yang tersedia bagi mereka dalam Pilkada. Tapi kondisi ideal itu tentu tidak akan terlaksana jika semangat berkontestasi yang sehat dan menghadirkan kesetaraan kesempatan sedari awal tidak menjadi niatan luhur para peserta Pilkada, terlebih para petahana kepala daerah. Semoga kontestasi Pilkada yang terjadi di ranah digital nantinya dapat menyanggah kecemasan kita bersama saat ini.
Rifqi Rachman,
Peneliti Bidang Politik
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research