Jangan Senang Dulu, Ini Potensi Masalah Golden Visa

Pada hari Kamis, 25 Juli 2024, Presiden Joko ’Jokowi’ Widodo meresmikan Golden Visa, yang bertujuan untuk memberikan kemudahan investasi dan izin tinggal bagi investor luar negeri dan talenta global yang ingin memberikan kontribusi di Indonesia (Sekretariat Kabinet, 25 Juli 2024). Dalam prosesnya, Golden Visa diterima secara simbolis oleh pelatih Tim Nasional (TimNas) sepakbola Indonesia berkebangsaan Korea Selatan, Shin Tae Yong. Adapun orang pertama yang mendapatkan Golden Visa Indonesia adalah Sam Altman, Chief Executive Officer (CEO) OpenAI, perusahaan yang mengembangkan chatbot ChatGPT.

Peraturan terkait Golden Visa tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal (Permenkumham 22/2023) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal (Permenkumham 11/2024). Selain Permenkumham tersebut, terdapat juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kebutuhan Mendesak Atas Pelayanan Golden Visa Yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkeu 82/2023). Permenkeu 82/2023 tersebut menjabarkan tarif terkait visa, izin keimigrasian, serta PNBP keimigrasian lainnya.

Lalu, apa itu Golden Visa? Berdasarkan Pasal 184 Permenkumham 22/2023, Golden Visa adalah “pengelompokan terhadap Visa Tinggal terbatas, Izin Tinggal Terbatas, Izin Tinggal Tetap, dan Izin Masuk Kembali untuk jangka waktu tertentu.” Selanjutnya, di Pasal 185 ayat 1 disebutkan bahwa visa tinggal terbatas, izin tinggal terbatas, izin tinggal tetap, dan izin masuk kembali diberikan untuk melakukan kegiatan penanaman modal, penyatuan keluarga, repatriasi, dan rumah kedua yang mana pada Pasal 185 ayat 2 disebutkan jangka waktu yang diberikan adalah 5 tahun dan 10 tahun.

Secara umum, kebijakan Golden Visa bukanlah instrumen yang baru digunakan untuk menarik investasi. Portugal, misalnya, telah mengimplementasikan dan dikatakan sukses menggunakan instrumen ini. Negara beribukota Lisbon ini mendapatkan €3,9 miliar dari Foreign Direct Investment (FDI) perumahan (real estate) pada tahun 2023 (Fortune.com, 1 Mei 2024), di mana minimum biaya investasi di properti perumahan di Portugal adalah €350.000 dan menjadi sekitar €369.840 secara total (getgoldenvisa.com, 9 Juli 2024), jika ditambahkan biaya-biaya lainnya. Namun, dalam setiap pilihan ekonomi, akan selalu muncul “trade-offs” yang mau tidak mau harus dihadapi.

Akibat kebijakan Golden Visa, pasar real estate di negara asal Christiano Ronaldo ini menjadi terdistorsi karena meludaknya para ‘orang berduit’ dari luar negeri, sehingga para penduduk asing yang lain tidak dapat membeli properti di pusat kota Porto, Lisbon, dan Algarve yang populer dan semakin mahal (Fortune.com, 1 Mei 2024). Salah satu studi oleh peneliti João Pereira dos Santos (Queen Mary University of London/ISEG – University of Lisbon, dan IZA), serta Kristina Strohmaier (University Duisburg-Essen) dalam situs essential-business.pt (1 April 2024), mengidentifikasi bahwa terdapat kenaikan 60% jumlah properti yang dijual pada harga “threshold” €500.000 (yang merupakan nilai minimum investasi real estate dalam Golden Visa Portugal). Hal ini mengindikasikan bahwa penjual perumahan menetapkan harga properti selama program Golden Visa dan menyebabkan distorsi pada pasar.

Selain Portugal, negara lain yang terkena dampak negatif Golden Visa, terutama di sektor perumahan adalah Spanyol. Spanyol menghentikan program ini karena membuat harga rumah menjadi mahal untuk masyarakat lokal, utamanya masyarakat muda yang ingin memiliki rumah, serta membuat harga rumah menjadi tidak terjangkau, dan menimbulkan krisis perumahan di kota populer seperti Barcelona, Madrid, Malaga, Kepulauan Balearic, Alicante, dan Valencia, di mana 90% Golden Visa diberikan (Forbes.com, 11 April 2024). Golden Visa Spanyol banyak diberikan kepada investor dari Tiongkok, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, Ukraina, Iran, Venezuela, dan Meksiko. Sejak diumumkannya pemberhentian program ini oleh pemerintah Spanyol ternyata membuat investor dari Tiongkok berbondong-bondong untuk membeli properti di negara Matador ini (euronews.com, 25 Juli 2024). Jika diibaratkan toko sepatu yang “final sale”, yang membeli jadi membludak karena sepatunya sudah akan habis. Tidak ayal jika sektor perumahan di Spanyol terdistorsi dan masyarakatnya tidak bisa membeli rumah.

Jika melihat Golden Visa di Indonesia, dalam Tirto (31 Juli 2024), Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute (TII), Putu Rusta Adijaya, menyampaikan bahwa pemerintah “ojo lali” jika mendirikan perusahaan itu membutuhkan lahan. Di sisi lain, kita ketahui bersama jika lahan yang tersedia masih banyak ditempati oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal yang turun temurun menempati tempat tersebut dan memiliki hak kepemilikan. Jika masyarakat tersebut tidak setuju lahan yang ada dibangun perusahaan oleh investor asing, misalnya dikarenakan perusahaan yang akan dibangun nantinya adalah perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif yang akan menimbulkan eksternalitas negatif, ditambah tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses investasi dan pembangunannya, maka yang terjadi bukannya “multiplier effect”, tetapi konflik sosial.

Belum lagi potensi mengurangi property rights masyarakat kecil dan masyarakat adat, seperti yang dikatakan Putu dalam Tirto (31 Juli 2024). Padahal, seperti yang kita ketahui bersama, dari perspektif kebebasan ekonomi, perlindungan bagi masyarakat dan harta benda yang diperoleh dengan sah merupakan elemen mendasar dari kebebasan ekonomi dan masyarakat sipil. Di samping itu, jika tidak ada kerangka kebijakan untuk “due diligence” melihat latar belakang investor asing dan memberikan “lampu hijau” karena uangnya cukup, akan memunculkan potensi pencucian uang.

Kebijakan Golden Visa yang diimplementasikan oleh Indonesia ini, yang mana beberapa negara seperti Inggris, Australia, serta Spanyol sudah menghentikan implementasinya karena potensi masalah tadi, harus terus dikaji dan dievaluasi. Dalam pengimplementasiannya, pemerintah harus memiliki kerangka “due diligence” guna menyeleksi para investor asing yang ingin mendapatkan Golden Visa Indonesia.

Selain itu, tata kelola pemerintah yang menjaga stabilitas ekonomi dan politik tidak hanya dapat menyukseskan Golden Visa, tetapi juga meraup peluang investasi “konvensional” lainnya. Hal ini membutuhkan supremasi hukum yang kuat, aparat penegak kebijakan yang transparan dan akuntabel, didorong dengan kerja sama dan kolaborasi multi pihak. Jangan sampai kebijakan Golden Visa menimbulkan dualisme antara “fear of missing out” (FOMO) dan upaya membangun ekonomi dari sumber investasi.

 

 

Putu Rusta Adijaya

Peneliti Bidang Ekonomi

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

putu@theindonesianinstitute.com

Komentar