Hate Speech, Kebebasan Berpendapat dan Demokrasi

Di negara demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berpendapat menurut Jimly Asshiddiqie merupakan salah satu roh dan pilar tegaknya sistem demokrasi. Kebebasan berpendapat merupakan prasyarat mutlak agar rakyat dapat memainkan peran terbaiknya dalam sistem demokrasi secara cerdas dan bertanggung jawab. Jika tidak ada kebebasan, apapun alasan pengkebiriannya, maka tak akan ada demokrasi (www.jimly.com).

Oleh sebabnya kebebasan berpendapat ditempatkan sebagai salah satu hak yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara yang dijamin oleh Konstitusi. Namun permasalahannya apakah kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi berarti kebebasan yang bebas sebebas-bebasnya atau perlu dibatasi? Hal ini akan menjadi menarik jika penulis hubungkan dengan fenomena ujaran kebencian atau sering dikenal dengan istilah hate speech yang kembali hangat diperbincangan pasca terbitnya SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian pada 8 Oktober 2015 lalu.

Dalam 5 (lima) tahun terakhir seiring dibukanya kran demokrasi dan kebebasan berpendapat, hate speech muncul sebagai salah satu tantangan yang serius. Menurut berbagai sumber ujaran kebencian atau hate speech diartikan sebagai prasangka aktif atau prasangka yang dimunculkan dalam ruang publik melalui sarana orasi kampanye, spanduk/pamflet, khotbah/ceramah agama, jejaring media sosial, dan orasi dalam demonstrasi yang telah menyerang hal-hal primordial yakni suku, agama, aliran keyakinan/kepercayaan, ras, dan antar golongan (SARA).

Hal ini juga disampaikan oleh Adrinus Meliala, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), bahwa hate speech bukanlah kebencian yang sifatnya personal, melainkan kebencian yang bersifat serangan pada primordial yaitu SARA yang menyulut konflik (nasional.republika.co.id, 13 November 2015). Telah banyak kasus kekerasan, amuk masa, konflik sosial, bahkan pembunuhan yang dipicu oleh faktor hate speech seperti di Sampang Madura, Cikeusik, Tolikara, dan Singkil. Oleh sebabnya menyelesaikan persoalan hate speech adalah suatu keharusan.

Kondisi demikian mendorong Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Badrodin Haiti pada akhirnya menerbitkan Surat Edaran Kepolisian Republik Indonesia (SE Kapolri), Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech pada 8 Oktober 2015 lalu. Namun SE Kapolri ini mendapat protes dan penolakan dari sebagian masyarakat karena dipandang sebagai upaya pengkebirian kebebasan berpendapat.

Sebenarnya SE Kapolri tersebut dimaksudkan sebagai pedoman atau instruksi di kalangan internal kepolisian. Tujuan utamanya antara lain untuk mencegah konflik sosial di antara masyarakat terutama yang menyentuh persoalan SARA. Selain itu juga soal warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat) dan orientasi seksual yang secara potensial dapat memunculkan hate speech yang menyulut konflik dan kekerasan. Terutama yang bersifat komunal atau antarkomunitas (masyarakat) dimana titik tekan sebenarnya adalah “penghasutan” dan “provokasi” (www.bbc.com, 5 November 2015).

Di dalam SE Kapolri tersebut tidak ada definisi yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan hate speech. Hal itulah yang dipersoalkan beberapa pihak karena akan menimbulkan multitafsir. Termasuk pada akhirnya memaknai hate speech sebagai bagian dari kebebasan berpendapat atau berbicara yang seharusnya dilindungi oleh hukum. Kritik pemerintah, beropini, disamakan dengan hate speech.

Yang tergolong hate speech dalam SE Kapolri adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan dan penyebaran berita bohong, baik yang terjadi dalam dunia maya maupun nyata. Lebih lanjut ada 3 (tiga) komponen utama yang harus dipenuhi oleh ekspresi dari sebuah ujaran kebencian yang dapat dikategorikan sebagai hate speech. Pertama, intend (mens rea), kedua menghasut, ketiga mendorong diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan atas dasar SARA, orientasi seksual, dan difabel.

Ujaran kebencian dianggap sebagai pemantik terjadinya konflik dan pihak hate speeker inilah yang hendak diredam “speechnya” untuk mencegah konflik. Hal penting lain yang perlu dipahami adalah memang benar bahwa beberapa tindakan yang tergolong hate speech sebenarnya juga telah termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Namun perlu kita cermati kembali bahwa ketentuan tindakan yang tergolong ujaran kebencian yang ada di dalam SE Kapolri dengan yang ada di dalam KUHP dan UU ITE jelas berbeda. Perbedaannya terletak pada elemen atau unsur mendorong, melakukan kekerasan, diskriminasi dan atau permusuhan. Misalnya ketentuan Pasal 310 tentang penghinaan di dalam KUHP berbeda dengan yang ada dalam SE Kapolri sebab tidak memenuhi komponen menghasut untuk mendorong melakukan diskriminasi, kekerasan dan permusuhan atas nama SARA.

Kepolisian harus benar-benar aktif dan waspada serta berperan utama untuk mencegah konflik dan kekerasan akibat hate speech. Namun kepolisian juga harus kritis dan waspada jangan sampai SE Kapolri diterapkan berlebihan hingga berimplikasi memasung demokrasi dan kebebasan. Harus ada pembedaan antara hate speech dan kritik. Pernyataan kritis terhadap pejabat publik harus dapat dilihat sebagai proses demokrasi yang sehat.

Masyarakat tidak perlu khawatir bahwa SE Kapolri yang mengatur larangan Hate Speech akan memberangus kebebasan berpendapat. Justru larangan hate speech merupakan jalan tengah antara kebebasan dan pembatasan yakni bebas selama dalam batas personal tapi dibatasi dalam unsur SARA. Misalnya masyarakat boleh dan bebas mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi atau pejabat publik lainnya, asal tidak mengaitkannya dengan suku atau golongan tertentu.

 

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com

Komentar