Tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini yang jatuh pada 10 Oktober 2025 adalah “Kesehatan Jiwa di Kala Katastropi dan Bencana”. Tema ini menjadi urgensi yang relevan dengan permasalahan kesehatan Indonesia terkini yang erat dengan krisis sosial hingga peningkatan frekuensi bencana akibat perubahan iklim ekstrem. Dalam laporan Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2025), per Agustus 2025, tercatat 18 orang meninggal, 1 orang hilang, 55 luka-luka, dan 127.577 orang terdampak dan mengungsi akibat bencana alam. Di balik angka-angka itu, tersimpan krisis lain yang belum terdata secara mendetail, yaitu spektrum kerugian psikologis yang dialami korban bencana.
Padahal, studi United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2021) menunjukkan bahwa perubahan cuaca ekstrem, polusi udara, dan kerusakan lingkungan di Indonesia berpotensi mendorong migrasi paksa, konflik sosial, serta peningkatan gangguan kesehatan mental. Artinya, bencana tidak hanya menimbulkan kerugian infrastruktur, tetapi juga kerugian psikologis berupa penurunan rasa aman, koneksi sosial, dan identitas komunitas pasca bencana. Namun, hingga kini, kebijakan mitigasi dan pemulihan pasca-bencana di Indonesia masih memiliki fokus yang dominan pada pemulihan fisik. Ke depannya, pencegahan peningkatan kasus kesehatan mental pada masyarakat terdampak iklim dan bencana harus dijalankan dengan lebih seimbang dengan pemulihan fisik yang Indonesia lakukan.
Krisis iklim harus dihadapi dengan upaya pencegahan dan peningkatan kapasitas kesiapsiagaan masyarakat dalam mengatasi bencana. Hal ini penting agar resiliensi mental masyarakat tidak mudah turun karena rasa tidak berdaya dalam mengelola dampak dari bencana. Contohnya, manajemen psikologis saat kehilangan rumah akibat banjir rob, rentan terkena infeksi saluran pernafasan karena polusi udara, gagal panen karena kekeringan, hingga trauma berulang setiap kali sirene peringatan dini bencana berbunyi. Di sisi lain, dunia digital dapat memperparah paparan stres dan gelombang kecemasan akibat derasnya arus berita negatif dan disinformasi. Maka, kesehatan mental masyarakat sangat dipengaruhi oleh krisis yang kompleks, mulai dari krisis alam, sosial, hingga digital. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan pendekatan kesehatan mental yang lintas sektor.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki Program Desa Tangguh Bencana (Destana) sebagai upaya memperkuat kesiapsiagaan komunitas dari level desa. Namun, investasi pada Destana perlu dioptimalkan dengan mengintegrasikan modul manajemen psikologis ke seluruh siklus manajemen bencana, mulai tahap pra-bencana, saat bencana, dan pasca-bencana. Pendekatan promotif seperti edukasi kesehatan mental, pelatihan Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis (P3LP), serta penguatan jaringan sosial lokal dapat dilakukan di tahap pra-bencana. Relawan yang terlatih dalam Psychological First Aid diberdayakan untuk menjadi garda depan di masa tanggap darurat, memberi rasa aman, dan koneksi manusiawi bagi korban.
Tahap pasca-bencana harus memprioritaskan pendampingan psikososial berkelanjutan, pemulihan rutinitas sosial, dan penciptaan ruang aman untuk anak-anak dan keluarga. Sekolah darurat, kegiatan seni, dan ruang komunitas harus dilihat bukan sekadar sarana rekreasi, melainkan bagian dari terapi kolektif untuk mengembalikan harapan korban. Strategi ini perlu selaras dengan kearifan lokal yang selama ini menjadi penyangga ketahanan psikologis masyarakat, seperti dengan mengadakan ritual gotong royong hingga tradisi doa bersama yang memperkuat rasa kebersamaan.
Kemudian, pemerintah khususnya BNPB, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup perlu memperluas pendataan jenis penyakit kesehatan mental terkait perubahan iklim dan bencana, seperti mengidentifikasi kasus yang termasuk gangguan kecemasan, depresi, dan stres pascatrauma. Data ini menjadi dasar analisis untuk memetakan jalur pajanan penyakit dan sebagai basis tindak lanjut pencegahan kesehatan mental yang adaptif iklim. Misalnya, dengan mengidentifikasi hubungan antara paparan polusi udara dan intensitas bencana hidrometeorologi dengan peningkatan depresi secara kuantitatif untuk merancang kebijakan lintas sektor yang lebih adaptif dan kontekstual.
Untuk itu, Indonesia membutuhkan investasi yang berorientasi pada ketangguhan mental masyarakat. BNPB bersama pemerintah daerah dan masyarakat sipil dapat memulai dengan menyusun rencana adaptasi ketangguhan kesehatan mental saat bencana berbasis komunitas yang menyatukan unsur kesehatan, pendidikan, dan kebencanaan. Lembaga pendidikan dan media pun memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi publik tentang manajemen kesehatan mental dalam konteks iklim dan bencana. Maka, kesehatan mental bukan hanya diperkenalkan sebagai isu individu, melainkan sebagai masalah struktural yang terkait dengan krisis iklim.
Di tengah meningkatnya frekuensi bencana, menjaga kesehatan mental berarti menjaga daya hidup bangsa. Sudah saatnya kebijakan publik menempatkan kesehatan jiwa bukan hanya diatasi setelah bencana, melainkan berorientasi pencegahan guna memperkuat fondasi ketahanan nasional. Sebab, bangsa yang tangguh bukan hanya yang mampu membangun kembali infrastruktur fisiknya, tetapi juga yang mampu memulihkan luka psikologis yang dialami masyarakat terdampak dan rentan.
Made Natasya Restu Dewi Pratiwi
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
natasya@theindonesianinstitute.com
The Indonesian Institute Center For Public Policy Research