Semua kita kembali sedih dan marah mendengar kabar tentang perkosaan yang menimpa seorang anak berusia 14 tahun berinisial YY di Bengkulu beberapa waktu lalu. YY diperkosa di kampungnya sendiri. Kita semua sedih dan marah, karena YY siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) diperkosa hingga akhirnya meninggal oleh 14 orang yang notabene adalah juga warga kampungnya. Lebih miris adalah karena beberapa di antara mereka adalah sosok yang dikenal korban, dan beberapa juga masih tergolong di bawah umur.
Suara ‘soak’ selalu hadir dalam setiap kasus perkosaan. Suara yang sama sekali tak berpihak pada korban, dan malahan menyalahkan korban. Menyalahkan cara berbusana korban, menyalahkan waktu yang dianggap tidak sepatutnya korban berada di ruang publik, atau menyalahkan korban yang jalan sendiri di jalanan sepi. Tidak masuk akal! Hal itu semua tak bisa menjadi justifikasi perkosaan kemudian dinilai ‘wajar’ dan sebagian juga menganggap ‘patut’.
Menghadapi suara-suara ‘soak’ ini, penulis merasa mereka perlu mendengar lagu Lady Gaga, penyanyi kontroversial Amerika Serikat yang berjudul Till It Happens To You. Lagu dengan lirik kuat yang mengajak kita semua tidak menghakimi para korban kekerasan seksual, tapi memberikan empati ke pada mereka, karena siapapun bisa jadi korban dan dimanapun bisa terjadi.
Untuk kasus YY, suara ‘soak’ itu adalah yang menyalahkan korban yang jalan sendiri di jalanan sepi. Selain pendapat ini membuat kita geli dan memang bisa dipatahkan kalau kita mau sedikit berfikir dan membuat ilustrasi kasus ini. Umur YY adalah 14 tahun. Meski dari hukum dikategorikan pada kelompok anak-anak, namun tentunya siswi SMP tersebut sudah paham betul dengan daerah yang dia lewati. Sebab YY mungkin sudah tak berbilang atau sering melewati jalan itu.
Dia tentu sadar sepenuhnya, kondisi jalan tersebut memang sepi, tapi bagaimanapun itu adalah jalan di kampungnya sendiri yang sudah sangat akrab dengannya. Secara nalar, dia pasti berpikir jalan itu akan selalu aman saja untuk dilewati atau dengan kata lain tidak terlintas dibenak YY kemungkin ada hal buruk yang akan terjadi.
Namun, hal yang juga kita pahami bersama adalah kejahatan terutama kejahatan seksual tak mengenal ruang, bisa terjadi dimana saja. Bahkan di ruang privat seperti rumah sendiri dengan pelaku keluarga sendiri, pun jamak kita dengar. Begitu juga dengan kasus YY. Sedih sekali. YY meninggal setelah diperkosa beramai-ramai di ruang publik, di jalan di kampungnya sendiri.
Penulis sepakat kalau kasus YY ini hanyalah ibarat puncak gunung es. Masih banyak kasus lain. Catatan Tahunan (Catahu) 2016 Komnas Perempuan mengkonfirmasi hal ini. Dari Catahu 2016, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan yang dialami perempuan di ranah publik adalah sebesar 31 persen (5.002 kasus) dari total kasus yang masuk ke Komnas Perempuan dan 61 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Jumlah ini belum termasuk korban yang tidak melapor ke Komnas Perempuan atau ke institusi penegak hukum lainnya. Kita masih dihadapkan pada realita, yang seperti penulis paparkan di atas, bahwa masyarakat kita masih cenderung menyalahkan korban. Dan bagi keluarga korban, kasus perkosaan dianggap aib sehingga malu melapor.
Penulis kemudian juga sepakat dengan pendapat bahwa kasus YY ‘beruntung’ tersentuh media, yang kemudian mengingatkan kita semua bahwa kita tidak bisa tinggal diam. Aksi-aksi kolektif pun dilakukan. Mulai dari aksi bunyikan tanda bahaya kekerasan seksual terhadap perempuan maupun aksi-aksi solidaritas lainnya untuk YY dan korban-korban diam kekerasan seksual lainnya.
Aksi-aksi ini tentu bukan tanpa makna pun bukan sekedar seremonial. Bunyikan tanda bahaya kekerasan seksual, bukan hanya agar aparat penegak hukum bekerja menangani kasus-kasus kekerasan seksual tapi juga mengingatkan kepada masyarakat luas, bahwa ini serius, tinggalkan semua stigma yang disematkan pada korban kekerasan seksual, dan bagi korban yang diam, ayo tuntut penyelesaian kasusnya.
Selain itu, hal yang perlu didorong adalah bersama-sama mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Pada akhirnya, menurut penulis, UU ini kemudian bisa hadir sebagai sebuah perangkat komprehensif untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan seksual jika memenuhi prinsip perlindungan terhadap korban dan keluarganya; prinsip penegakan hukum yang transparan dan adil; serta prinsip pencegahan agar tidak terjadi lagi kasus-kasus kekerasan seksual.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Kebijakan Sosial di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. lola@theindonesianinstitute.com