Cipta Kerja, Korupsi Legislasi dan Cengkraman Oligarki

Setelah sekian lama menuai begitu banyak polemik, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja akhirnya memperoleh persetujuan untuk disahkan pada 5 Oktober 2020. Mulai dari kalangan buruh, pemerhati lingkungan, akademisi hingga berbagai organisasi masyarakat sipil, langsung meneken petisi dan menggalakkan sikap penolakan yang senafas.

Menariknya, tidak sedikit juga pihak yang terlihat memberikan sikap yang berlainan. Seperti menyatakan dukungan dan menyambut baik kehadiran RUU ini menjadi sebuah undang-undang yang berlaku positif. Sebagaimana yang datang dari kebanyakan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan sebagainya (cnnindonesia.com, 5/10).

Terlepas dari beragam kontroversi itu, terdapat beberapa fakta yang setidaknya patut diperhatikan dalam proses pembentukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang agaknya memang tidak melalui proses pembentukan yang lazim. Misalnya, dalam proses penyusunannya yang non partisipatif dan kurang melibatkan para pemangku kepentingan terkait maupun publik secara inklusif. Selain itu, proses pembahasannya, yang dapat diperhatikan adalah kurangnya pengayaan wacana yang mumpuni, serta dirampungkan dalam waktu hanya kurang lebih dari 60 kali pertemuan saja (kompas.com, 7/10)

Hal tersebut dapat dikatakan tidak lazim untuk sebuah undang-undang yang tidak hanya memiliki jumlah muatan pasal menghampiri 1000. Lebih jauh, secara langsung ataupun tidak langsung, undang-undang ini juga telah mengubah atau mengganti berbagai ketentuan yang ada di dalam kurang lebih 79 undang-undang, mengatur beragam kluster dan urusan pemerintahan, serta disusun dengan struktur dan metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang sama sekali baru, yakni omnibus law.

Belum lagi, sebagian besar substansi pengaturan dalam undang-undang ini juga terlihat problematis. Jauh sebelum RUU ini disetujui untuk disahkan lebih lanjut, telah banyak lembar-lembar kajian dan pernyataan sikap yang telah dikeluarkan oleh berbagai lembaga kajian, institusi perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat sipil,  termasuk The Indonesian Institute, yang seharusnya dapat dijadikan rujukan untuk mendedah dan menilai betapa RUU yang sebenarnya berpotensi positif, namun sayangnya, disusun dengan proses pembentukan yang bermasalah,  mengandung sekian banyak permasalahan.

Mulai dari sisi pengaturan yang mengatur urusan ketenagakerjaan, isu kehutanan dan lingkungan hidup, kebijakan agraria dan tata ruang, perizinan dan relasi atau hubungan pusat dan daerah, pengaturan-pengaturan delegatif yang sifatnya administratif dan memberi kewenangan diskresi, dan sebagainya. Untuk itu, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulang kembali hal-hal apa yang sebenarnya telah dibahas secara komprehensif dalam berbagai lembar kajian dan pernyataan sikap tersebut.

Tulisan ini mencoba untuk mengaitkan hipotesis penulis atas konteks pembentukan RUU Cipta Kerja yang dapat dilihat sebagai bagian yang utuh dari paket perundang-undangan yang timbul dari fenomena korupsi legislasi. Seturut dengan deretan berbagai RUU kontroversial lainnya yang telah disahkan terlebih dahulu. Sebut saja,  RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba), RUU Mahkamah Konstitusi (MK), serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Stabilitas Keuangan, yang kontennya tidak lain merupakan jiplakan dari draf Omnibus Law Perpajakan.

Kajian lengkapnya, rencananya akan penulis tuangkan lebih lanjut dalam salah satu tajuk laporan akhir tahun The Indonesia Institute, yakni Indonesian Report 2020, dengan judul, “Menilik Kuasa Oligarki dalam Pembentukan Legislasi Periode Ke-II Pemerintahan Joko Widodo,” pada bulan Desember mendatang.

Meski masih terdengar asing, namun korupsi legislasi setidaknya dapat dipahami secara sederhana sebagai tindakan koruptif yang terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam beberapa kajian, tindakan ini dapat dikategorisasikan ke dalam bentuk state capture corruption, atau yang dapat dipahami sebagai “a situation where powerful individuals, institutions, companies or groups within or outside a country use corruption to shape a nation’s policies, legal environment and economy to benefit their own private interests” (Transparency International, 2009).

Dalam state capture corruption, terdapat dua aktor yang dapat dipetakan, yakni kelompok kepentingan dan pembentuk undang-undang. Purawan (2014), menyebut aktor pertama, yakni kelompok kepentingan, pada dasarnya memiliki kepentingan untuk mendorong peraturan perundang-undangan yang dapat menguntungkan kedudukannya dalam memperoleh laba sebanyak-banyaknya (supernormal profit) dan mempertahankan market power-nya. Di sisi lain, pembentuk undang-undang dikatakan mengharapkan uang atau prospek keuntungan pribadi lainnya dari kelompok kepentingan tersebut sebagai imbalan atas “jasa” yang telah dilakukan.

Dalam konteks terkini, khususnya di Indonesia, terdapat aktor ketiga yang sekiranya dapat turut diidentifikasi. Yakni mereka yang sebenarnya masih tergolong sebagai kelompok kepentingan, namun di saat yang sama juga berperan sebagai pembentuk undang-undang. Berdasarkan pegamatan penulis, aktor ini dapat dilihat menjamur ketika kelompok kepentingan mulai merasakan kepentingan mereka semakin terancam, dan peran para pembentuk undang-undang mulai tidak dapat diharapkan dalam mengakomodir kepentingan mereka.

Apa yang kemudian tergambarkan jelas dalam pemetaan tersebut, dapat dikaitkan dengan teori oligarki, yang secara sederhana dikemukakan oleh Winters (2011), sebagai politik pertahanan kekayaan (wealth defense) oleh pelaku kekayaan material. Secara teknis, pelaku ini disebut oleh Winters dengan istilah oligark (oligarch), yang didefinisikan sebagai pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.

Dalam konteks ini, berbagai deretan RUU kontroversial yang sebelumnya telah disahkan dan diikuti oleh persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja, tentu tidak dapat dianggap sebagai sebuah kebetulan belaka. Polanya, sekiranya telah sedemikian jelas memperlihatkan corak politik pertahanan kekayaan para kaum oligark, yang telah di-setting sedemikian rapi sedari awal. Sejak menjelang akhir periode pertama masa Pemerintahan Joko Widodo, dengan Pemilihan Presiden (pilpres) yang dilaksanakan berdasar kebijakan presidential threshold sebagai momen kunci yang secara terang benderang telah menggelarkan karpet merah terhadap para oligark untuk melakukan state capture corruption.

Mengapa demikian? Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh KPK pada 9 Juni 2020, Winters menyatakan bahwa dalam berbagai kenyataan dan sejarah dunia, para oligark selalu dapat menentukan apa yang menjadi agenda suatu negara dan siapa saja yang bisa dipilih dalam suatu pemilu. Melalui kekayaan materialnya, para oligark selalu berhasil membajak demokrasi dengan cara mengerucutkan pilihan (shape the choices), yang selanjutnya, baru rakyat bisa memilih (get to choose). Dalam konteks ini, kebijakan presidential threshold yang telah sukses memunculkan hanya ada dua kandidat saja dalam kontestasi pilpres kemarin, tentu juga bukan sekadar angin lalu belaka.

Adanya 12 nama yang belakangan diedarkan oleh gerakan #BersihkanIndonesia pada tanggal 9 Oktober kemarin, setidaknya semakin menguatkan hipotesis tersebut. Mulai dari Airlangga Hartarto, Rosan Roeslani, Pandu Patria Syajhrir, Puan Maharani, Arteria Dahlan, Benny Sutrisno, Azis Syamsuddin, Erwin Aksa, Raden Pardede, M Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar, serta Lemhot Sinaga, yang semulanya tersebar dalam di tim Satuan Tugas dan Panitia Kerja RUU Cipta Kerja di DPR, dapat diperhatikan tidak hanya memiliki pertautan peran dan fungsi Tim Kampanye Pemenangan Jokowi-Ma’aruf Amin pada Pilpres 2019, namun juga afiliasi terhadap perusahaan-perusahaan tambang minyak atau mineral dan batubara di berbagai daerah.

Catatan tersebut masih bersifat asumsi atau anggapan sementara yang dapat penulis ajukan dalam melihat potret politik hukum pembentukan legislasinya. Untuk itu, hipotesis ini masih perlu dikaji dan dibuktikan lebih lanjut. Meski begitu, pembiaran terhadap kehadiran berbagai RUU problematik ini sudah sepantasnya tidak dibiarkan begitu saja. RUU Cipta Kerja maupun RUU-RUU yang telah disahkan sebelumnya, perlu untuk segera diujimaterilkan ke MK. Walaupun rasanya pelik, untuk tetap berharap pada hasil terbaik, tatkala pengesahan RUU tersebut tidak dapat dilepaskan dari rezim legislasi yang acak-kadut ini.

 

Muhammad Aulia Y Guzasiah

Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute

auliaan@theindonesianinstitute.com

Komentar