TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, M. Rifki Fadilah, menilai intervensi Bank Indonesia melalui kebijakan pembelian Surat Berharga Negara di pasar primer sebagai lender of last resort tidak perlu dikhawatirkan. Dia mengatakan intervensi BI di pasar primer terhitung cukup kecil sehingga tidak akan membuat hyperinflasi.
Intervensi Bank Indonesia ini hanya sebesar 25 persen atau sebesar Rp 125 triliun dari alokasi SBN yang mencapai Rp 506 triliun totalnya. “Bandingkan dengan Amerika Serikat, The Fed sudah mengumumkan QE (Quantitative Easing) sebesar US$ 700 miliar atau setara Rp 10.500 triliun pada Rp 15.000 per dolar. Intervensi BI masih terbilang kecil. Oleh sebab itu, publik tidak perlu merasa khawatir akan terjadi hyperinflasi,” kata Rifki dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 Mei 2020.
Kendati demikian, Rifki juga mengatakan mungkin memang masih ada risiko untuk ke inflasi, tetapi terlalu pagi untuk mengatakan akan terjadi hyperinflasi. “Justru tantangan ke depan untuk kebijakan moneter dan fiskal yang mungkin terjadi adalah bagaimana mempertahankan permintaan dan menghindari deflasi daripada sebaliknya,” ujarnya.
Lebih jauh, dirinya juga mengatakan bahwa saat ini tidak ada faktor yang mampu mendorong terjadinya hyperinflasi dalam beberapa tahun ke depan. Misalnya, tingkat pengangguran. Tingkat pengangguran di Indonesia diperkirakan akan naik meskipun kebijakan PSBB yang saat ini dilonggarkan dan ekonomi mulai berjalan seperti biasa.
“Para korban pengangguran akibat COVID-19 ini pun akan masih sulit untuk mendapatkan pekerjaan karena situasi ekonomi yang belum kondusif, sehingga banyak perusahaan yang menahan proses penambahan tenaga kerja baru,” kata Rifki.
Oleh sebab itu, menurutnya faktor pendorong inflasi akibat adanya dorongan dari upah pun sepertinya akan menjadi mustahil, melihat situasi perekonomin saat ini yang cenderung sulit. Rifki menduga publik mungkin khawatir bahwa program fiskal ekspansif untuk membantu rumah tangga dan perusahaan akan menyebabkan permintaan melebihi penawaran. Tapi, menurut Rifki Itu belum tentu terjadi.
Sebaliknya, menurut Rifki, justru di situasi seperti saat ini secara behavioral, masyarakat akan lebih memilih untuk menahan belanjanya dan menyimpan uangnya sebagai dana darurat. Hal ini juga diperparah dengan ketidakpastian kapan pandemi ini akan selesai dan kondisi ekonomi Indonesia yang masih bergejolak, serta adanya ancaman PHK yang masih menghantui.
Saat ini justru, kata dia, Indonesia sedang mengalami pelemahan daya beli yang tercermin dari melandainya laju inflasi beberapa bulan terakhir. Kemudian, saat ini Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan April 2020 adalah sebesar 84,8 atau turun drastis dari bulan sebelumnya yang sebesar 113,8.
https://bisnis.tempo.co/read/1339727/bank-indonesia-beli-sbn-di-pasar-primer-ekonom-jangan-khawatir/full&view=ok