Pemungutan suara dalam pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 telah usai pada tanggal 14 Februari lalu. Namun, persoalan terkait pemilu masih mengundang polemik di masyarakat, terutama soal tahap penghitungan suara, lebih khususnya lagi dalam penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Sirekap ramai diperbincangkan karena adanya ketidaksesuaian data Sirekap dengan dokumen formulir Model C Hasil Pemilu 2024; terkendalanya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam mengunggah data hasil rekapitulasi suara yang ada di model C1 plano, hingga persoalan dihentikannya penayangan grafik pada Sirekap dalam penghitungan suara Pemilu 2024.
Apalagi, akhir-akhir ini beredar kabar bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru mengakui menjalin kontrak dengan raksasa teknologi asal Tiongkok, Alibaba, terkait pengadaan dan kontrak komputasi awan (cloud) untuk Sirekap yang digunakan selama Pemilu 2024 (cnnindonesia.com, 14/3/2024). Hal ini yang kemudian menambah kecurigaan publik terhadap penggunaan Sirekap.
Bahkan, Perkumpulan Jaga Pemilu, organisasi relawan yang terdiri dari aktivis serta akademisi, mendapatkan 193 laporan sejak hari pencoblosan tanggal 14 Februari dari masyarakat terkait perhitungan Sirekap. Semua keluhan tersebut berasal dari temuan mesin otomasi Jaga Pemilu yang mengawasi media sosial, media daring dan aduan warga di situs web Jaga Pemilu (kontan.co.id, 10/3/2024). Persoalan Sirekap ini telah menegaskan penilaian sejumlah pihak yang mengatakan bahwa Pemilu 2024 merupakan penyelenggaraan pemilu yang buruk yang pernah dilakukan di Indonesia.
Padahal, penggunaan Sirekap sejatinya bertujuan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta menjaga integritas hasil pemilu. Ditambah lagi penggunaan Sirekap oleh KPU dilakukan sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020. Namun, pada kenyataannya, penggunaan Sirekap malah mengundang polemik yang berpeluang melemahkan integritas hasil Pemilu 2024.
Melihat persoalan tersebut ada beberapa hal yang menjadi tantangan penggunaan Sirekap pada Pemilu 2024. Pertama, persoalan persepsi terkait pentingnya data pemilu terbuka di internal KPU. Hasil kajian tengah tahun yang dilakukan oleh The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) pada tahun 2022 yang berjudul “Evaluasi Implementasi Kebijakan PKPU Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dalam rangka Mendorong Penerapan Data Pemilu Terbuka”, menemukan bahwa minimnya sosialisasi tentang pentingnya data pemilu terbuka dan SPBE masih menjadi persoalan di internal KPU.
Minimnya sosialisasi tersebut menyebabkan masih adanya pandangan di internal KPU, khususnya di tingkat daerah, bahwa keterbukaan data pemilu belum penting untuk dijalankan. Hal ini menjadi persoalan mendasar dan penting bagi penyelenggara pemilu, khususnya KPU, untuk memasifkan pengetahuan tentang pentingnya data pemilu terbuka. Padahal, keterbukaan data pemilu sangat penting untuk memperkuat integritas pemilu. Namun, KPU tidak siap dalam mengantisipasi tantangan dalam implementasi keterbukaan data pemilu, termasuk dalam menjalankan Sirekap.
Tantangan kedua yakni keterbatasan sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan keterbatasan SDM yang terampil dalam teknologi informasi (TI) di internal KPU baik pusat dan daerah. Kurangnya tenaga terampil tersebut dikarenakan belum adanya peningkatan kapasitas SDM di internal KPU dalam rangka digitalisasi data pemilu dalam rangka mendukung keterbukaan data pemilu.
Tantangan ketiga yaitu persoalan infrastruktur. Minimnya infrastruktur masih ditemukan baik dalam bentuk penyediaan perangkat komputer hingga jaringan internet yang kurang merata. Selain itu, terdapat juga persoalan minimnya perangkat keamanan untuk penyimpanan data. Kondisi ini banyak ditemui di tingkat daerah. Persoalan ini tentunya bukan hanya tanggung jawab KPU, tetapi juga penting untuk mengikutsertakan kementerian dan lembaga negara lainnya yang seharusnya mendukung penyelesaian persoalan ketimpangan digital di Indonesia. Kemudian yang keempat, sosialisasi dan bimbingan teknis kepada KPPS hingga persoalan lainnya dalam input Sirekap menjadi akumulasi dari persoalan penyelenggaraan keterbukaan data pemilu di Indonesia, khususnya Pemilu 2024.
Berdasarkan paparan di atas, maka sangat penting untuk menghilangkan kecurigaan dan ketidakpercayaan masyarakat dan mendorong perbaikan sistem informasi penghitungan suara di masa yang akan datang. Beberapa langkah yang diperlukan yaitu, pertama, KPU perlu memberikan pernyataan adanya persoalan dan penjelasan lebih lanjut dan terbuka dalam penyelenggaraan Sirekap Pemilu 2024.
Kedua, mendorong adanya audit terhadap penyelenggaraan Sirekap yang dilakukan oleh lembaga independen agar terbuka persoalan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Ketiga, mendorong KPU untuk tetap mengoptimalkan keterbukaan data pemilu. Keempat, KPU perlu untuk membuka data-data pemilu yang belum tersedia daring dan disajikan dalam satu portal. Kelima, mendorong KPU untuk meningkatkan sosialisasi terkait pentingnya keterbukaan data pemilu di internal KPU.
Keenam, mendorong KPU untuk melakukan peningkatan kapasitas SDM agar dapat mendukung implementasi keterbukaan data pemilu. Ketujuh, mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan percepatan terkait pemerataan internet untuk mendukung penerapan data pemilu terbuka dalam rangka Pilkada Serentak tahun 2024 mendatang.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com