Dibalik Diskon PPnBM Mobil Baru

Resmi pada hari ini 1 Maret 2021, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan beleid insentif fiskal berupa pemberian diskon Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) mobil baru. Adapun jenis kendaraan yang mendapat fasilitas adalah kategori sedan dan tipe 4×2, seperti hatchback, MPV, dan SUV dengan segmen sampai dengan 1.500 cc, menggunakan bahan baku lokal sebesar 70 persen, dan kendaraan dirakit di dalam negeri. Kemudian, pemberian diskon pajak dilakukan dengan menggunakan tiga periode waktu. Periode 1 insentif PPnBM mobil baru akan dimulai pada Maret-Mei dengan diskon 100 persen. Periode 2 berlaku pada Juni-Agustus dengan diskon 50 persen. Periode 3 mulai September-Desember dengan diskon 25 persen.

Lebih lanjut, adapun alasan pemerintah memberikan diskon PPnBM mobil baru disebabkan oleh terpukulnya industri otomotif akibat pandemi COVID-19 dengan total penurunan penjualan mobil mencapai 48,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisi lain, industri otomotif merupakan salah satu industri yang penting bagi perekonomian Indonesia. Adapun nilai sumbangsih industri otomotif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,6 persen dan mampu menyerap sebanyak 1,3 Juta tenaga kerja. Oleh sebab itu, industri ini digolongkan sebagai industri yang padat karya. Kemudian, tidak sampai di situ, industri otomotif juga berkontribusi sebesar $8,16 Miliar terhadap devisa ekspor dan memberikan sumbangan 4,9 persen terhadap ekspor nasional (Kemenkeu, 2021).

Di dalam logika berpikir pemerintah, dengan melakukan pengurangan hingga pembebasan PPnBM yang membuat harga mobil baru menjadi lebih murah akan mendorong tingkat pembelian kendaraan bermotor. Diharapkan ketika permintaan meningkat, maka produksi pun akan mengikuti. Selanjutnya, beberapa sektor pendukung industri ini pun akan terdorong untuk tumbuh. Pada putaran akhirnya pertumbuhan ekonomi pun akan mengalami kenaikan. Namun, akankah berjalan demikian?

Menakar Efektivitas Kebijakan dan Perilaku Konsumen

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat menggunakan teori perilaku konsumen. Di dalam teori, harga menjadi salah satu faktor yang menentukan konsumen untuk melakukan permintaan/berbelanja. Sayangnya, di tengah pandemi COVID-19, pola perilaku konsumen mengalami anomali yang membuat sehimpun kebijakan dapat menjadi bersifat netral untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut. Oleh sebab itu, pemangku kebijakan harus benar-benar memperhatikan perilaku konsumen khususnya di keadaan yang extraordinary seperti saat ini.

Dalam persoalan pemberian diskon PPnBM mobil baru, penulis menilai kebijakan ini tidak terlalu efektif untuk mendorong peningkatan penjualan mobil di tengah pandemi COVID-19. Mengapa demikian? Jika kita lihat pangsa pasar untuk mobil yang dikenakan dikson PPnBM termasuk ke dalam golongan jenis mobil Low-Cost Green Car (LCGC) dengan harga rata-rata kisaran 100-300 juta-an. Dengan demikian, pangsa pasarnya adalah konsumen yang masuk ke dalam golongan kelas menengah ke bawah (pengeluaran < 5 juta per bulan). Di sisi lain, daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini sedang mengalami tekanan.

Jika ditelusuri lebih dalam, pelemahan daya beli salah satunya disebabkan oleh hilangnya pendapatan masyarakat. Tahun ini, menurut perhitungan Office of Chief Economist Bank Mandiri, pandemi memukul semua kelompok pendapatan. Pekerja tetap terkena dampak yang relatif paling kecil, tetapi pekerja informal dan wiraswasta mengalami penurunan pendapatan yang lebih tajam, masing masing turun menjadi 60 persen dan 80 persen dari kondisi normal (Basri, 2020). Perlu menjadi catatan bahwa pendapatan menjadi salah satu determinan yang mampu menggerakkan konsumsi/belanja rumah tangga (Akekere dan Yousuo, 2012; Ezeji dan Judua, 2015). Dengan demikian, ketika pendapatan terganggu maka konsumsi juga akan mengalami gangguan.

Sementara itu, jika kebijakan ini direspons oleh kelas menegah atas, senyatanya kelompok masyarakat kelas menengah atas justru sedang mengalami perubahan pola konsumsi di tengah pandemi COVID-19. Masyarakat golongan kelas menengah atas ini, justru sekarang menjadi lebih rajin menabung ketimbang berbelanja. Hal ini tercermin dari jumlah simpanan masyarakat di sektor perbankan terus menanjak. Bank Indonesia (BI) melaporkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) per bulan Oktober 2020 tercatat Rp 6.336,5 triliun atau tumbuh 11,6 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Hal di atas semakin memperjelas bahwa ada sebuah pola konsumsi yang ditahan oleh masyarakat kelas menengah atas. Survei McKinsey (2020) juga menunjukkan bahwa 67 persen responden di Indonesia kini lebih mempertimbangkan cara mengeluarkan uang. Lalu, 59 persen mencari langkah untuk lebih menyimpan uang ketika berbelanja. Kemudian, 56 persen beralih membeli produk yang lebih murah demi menyimpan uang.

Dengan konfigurasi ini, maka tujuan kebijakan pemberian diskon PPnBM mobil baru dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan penjualan mobil khususnya kepada kelas menegah ke bawah akan bersifat netral. Sementara itu, kelompok masyarakat menengah atas juga tidak serta merta memanfaatkan momentum ini karena adanya perubahan perilaku konsumsi dan putaran akhirnya untuk mengegrakkan perekonomian menjadi tidak efektif.

Trade Off Kebijakan

Kondisi di atas terjadi dengan asumsi masyarakat menahan konsumsi. Namun, kondisi ini akan berbeda ketika diasumsikan masyarakat langsung merespons kebijakan diskon PPnBM mobil baru. Kebijakan ini akan membawa trade off yang tidak mudah khususnya bagi penerimaan pemerintah. Diproyeksikan pemberian diskon PPnBM mobil baru akan mengurangi potensi penerimaan pemerintah. Padahal, di tahun 2019 PPnBM menyumbang Rp15,6 triliun penerimaan pemerintah.

Dengan diberlakukannya kebijakan diskon PPnBM mobil baru, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) memproyeksikan pemerintah akan kehilangan potensi penerimaan hingga mencapai 15 persen (Kemenkeu, 2021). Bahkan dikutip dari beberapa sumber berita, pemerintah diperkirakan akan mengalami potential loss hingga Rp2,3 triliun. Tentu saja angka ini bukanlah angka yang sedikit terlebih di tengah situasi krisis yang membutuhkan penerimaan bagi anggaran negara yang lebih banyak guna membiayai ongkos pandemi COVID-19 yang belum berakhir ini.

Tidak sampai di situ, trade off kebijakan ini juga akan membawa konsekuensi yang tidak mudah khususnya terhadap lingkungan. Dengan logika berpikir bahwa ketika harga diturunkan, maka akan meningkatkan permintaan terhadap mobil, hal ini akan berimplikasi terhadap kenaikan jumlah kendaraan di Indonesia yang berpotensi membawa eksternalitas negatif bagi lingkungan, seperti kemacetan dan polusi udara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor jenis mobil penumpang mencapai 15.592.419 unit di seluruh Indonesia. Dengan demikian, diproyeksikan jumlah kendaraan bermotor jenis mobil penumpang ini akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan di masa mendatang.

Dengan konfigurasi problematika di atas, maka pemerintah harus masak-masak memitigasi dampak negatif kebijakan ini. Selain itu, Pemerintah juga harus cermat untuk membaca pola perilaku masyarakat/konsumen di tengah pandemi, khususnya saat ini masyarakat/konsumen menjadi aktor utama yang mendorong perekonomian melalui jalur konsumsinya. Jangan sampai pemerintah salah langkah memberikan insentif fiskal alih-alih mendorong perekonomian justru hanya memberikan efek netral bagi perekonomian dan malah membawa social cost yang harus ditanggung oleh masyarakat Indonesia akibat eksternalitas negatif yang ada. Di sinilah pentingnya membuat skala prioriatas pemberian insentif fiskal kepada sektor-sektor yang dapat benar-benar menjungkit perekonomian di tengah keterbatasan ruang fiskal yang ada. Jadi, bagaimana pemerintah?

Muhamad Rifki Fadilah,

Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute,

rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar