Virtual Police: Mengawasi Sang Pengawas

Senin ini memasuki pekan ketiga dari operasionalisasi virtual police di Indonesia, sejak aktivasinya yang dilakukan pada 19 Februari 2021 lalu. Setelah lebih kurang 18 hari menjalankan tugas, “hasil kerja” entitas ini ditandai dengan adanya 21 akun media sosial yang telah diberi peringatan melalui direct message, karena diduga melakukan ujaran yang mengandung SARA. Laporan kerja tersebut disampaikan oleh Kadiv Humas Polri, Irjen (Pol.) Argo Yuwono pada 1 Maret lalu[i]. Lantas, apakah kerja-kerja seperti ini yang nantinya akan terus dilakukan oleh virtual police milik Polri?

Rifqi Rachman, Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Sesuai Proyeksi Awal?

Tulisan ini berusaha menarik kembali pewacanaan virtual police dari apa yang sempat disampaikan oleh Kapolri, Jenderal (Pol.) Listyo Sigit Prabowo, saat mengikuti Uji Kelayakan dan Kepatutan[ii] di Komisi III DPR-RI pada 20 Januari 2021. Pada kesempatan itu, Kapolri melakukan pemaparan pada apa yang ia sebut sebagai Road Map Transformasi Polri.

Satu dari beberapa agenda transformatif yang disampaikan adalah melakukan penguatan partisipasi masyarakat, dalam skema masyarakat informasi, di ruang siber. Program itu ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya keamanan data pribadi, serta cara bermedia sosial yang berbudaya dan beretika baik. Virtual police lantas muncul sebagai entitas penggerak agenda partisipatif ini, dengan mengutamakan fungsi edukasi pada masyarakat pengguna internet.

Akan tetapi, cara kerja dengan memberi peringatan terlihat lebih dominan beberapa waktu terakhir. Dari situ, terdapat sejumlah catatan awal bagi pelaksanaan virtual police. Pertama, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat pengguna internet terhadap pentingnya keaman data pribadi dapat dikatakan tenggelam. Poin kedua memperlihatkan pangkal persoalan hal tersebut, bahwa aktivitas virtual police masih berkutat di soal surveillance yang dilengkapi dengan fungsi memberi peringatan semata.

Kendati fungsi edukasi virtual police tetap digaungkan hingga sekarang, tidak munculnya upaya realisasi agenda peningkatan kesadaran masyarakat pada pentingnya proteksi data pribadi menandakan adanya pergeseran arah gerak entitas ini. Belum lagi, sebagai poin ketiga, turunan konsep berbudaya dan beretika baik di media sosial tidak juga disajikan dalam bentuk aplikatif oleh Polri.

Selain itu, ketika menengok pada Surat Edaran Kapolri bernomor SE/2/II/2021, ditemukan bahwa sejumlah rujukan pembentukan surat ini tidak menguatkan agenda edukasi yang diusung virtual police. Surat Edaran tersebut justru merujuk pada regulasi-regulasi yang mengatur soal tindak pidana. Misalnya saja adalah Perkapolri Nomor 6/2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan virtual police tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan proyeksi awal Kapolri.

Perbincangan Publik

Suburnya pembicaraan tentang pengawas dunia maya bernama virtual police telah banyak hadir dalam bentuk tanggapan, catatan, hingga kritik dari berbagai elemen masyarakat. Pembahasan yang timbul secara kontinu dalam beberapa minggu belakangan itu menjadi sebuah tanda yang baik.

Pertama, hadirnya perbincangan tentang virtual police mengisyaratkan adanya kesadaran di masyarakat terkait dampak-dampak apa saja yang mungkin mereka hadapi di dunia maya. Dapat diasumsikan bahwa secara tidak langsung masyarakat telah memiliki kesadaran yang cukup baik pada pentingnya menjaga keamanan data pribadi mereka dari pengawasan tanpa konsensus yang dilakukan pihak kepolisian.

Kedua. Asumsi di atas senyatanya dapat ditangkap sebagai peluang oleh Polri, sebab Polri tengah mendapatkan saluran dan kesempatan untuk terus melakukan sosialisasi fungsi serta urgensi dari virtual police kepada masyarakat. Upaya ini penting dilakukan, agar wajah aparat yang dianggap makin semena-mena dalam menangkap warga yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah secara perlahan dapat terkikis[iii]. Oleh karena itu, selain mempertajam urgensi dan memperjelas pakem terkait berbudaya dan beretika baik dalam bermedia sosial, virtual police patut juga memasang wajah penuh senyum dalam menjalankan fungsi edukasinya, bukan wajah yang justru terasosiasi dengan tindak peringatan (alert) saja.

Secara garis besar, aksi pengawasan yang menubuh dalam perbincangan publik adalah alat yang baik dalam memastikan agar penerapan fungsi-fungsi virtual police tidak menyimpang dari tujuan utamanya dalam memberikan edukasi melalui pendekatan persuasif. Di lain sisi, aktivitas ini juga dapat menjadi suatu umpan balik yang sangat kaya bagi pihak kepolisian dalam mengembangkan virtual police, baik dari segi fungsi, pendekatan, hingga pilihan wajah yang ingin ditampilkan kepada publik. Semoga keberadaan polisi dunia maya ini bisa menjaga marwah kebebasan berekspresi masyarakat yang menghidupi demokrasi, bukan justru membangun limitasi-limitasi baru yang menyumpal luapan keresahan masyarakat.

 

Rifqi Rachman,

Peneliti Bidang Politik

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

rifqi@theindonesianinstitute.com

[i] Maharani, T. (2021, Maret 3). Polri: Virtual Police Sudah Kirim Peringatan ke 21 Akun Media Sosial. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2021/03/01/18483191/polri-virtual-police-sudah-kirim-peringatan-ke-21-akun-media-sosial

[ii] DPR RI. (2021, Januari 20). LIVE STREAMING – KOMISI III DPR RI MENYELENGGARAKAN FIT AND PROPER TEST CALON KAPOLRI [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=mNe-DLptanA

[iii] Indikator Politik Indonesia. (2020, September). Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era Pandemi Covid-19. https://indikator.co.id/wp-content/uploads/2020/10/Rilis_Surnas_Indikator_25-Oktober_2020.pdf

 

 

 

Komentar