Pada acara Dialog Kebangsaan bersama Partai Politik dalam rangka Persiapan Pemilu Tahun 2024, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin menuturkan bahwa Pemilu sejatinya adalah ajang untuk menemukan pemimpin terbaik bangsa. Untuk tujuan tersebut, partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024, sebagai kendaraan politik para calon pemimpin ke depan diharapkan dapat bersaing dengan beradu gagasan. Wapres berharap parpol tidak menggunakan strategi politik identitas yang dapat menyebabkan polarisasi sosial yang tajam di tengah masyarakat seperti pada Pemilu 2019. Wapres juga mengingatkan agar mewaspadai gerakan kampanye negatif di media sosial, karena perang politik di media sosial pasti akan terjadi selama Pemilu (https://www.setneg.go.id, 13/3/2023).
Pernyataan Wapres K.H. Ma’ruf Amin di atas menegaskan bahwa persoalan politik identitas yang disertai dengan ujaran kebencian dan hoaks di media sosial dalam kampanye merupakan tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Berkaca pada Pemilu sebelumnya, penggunaan politik identitas yang disertai dengan ujaran kebencian mulai marak pada penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Berlanjut ke Pemilu tahun 2019, hingga Pilkada 2020. Khusus untuk hoaks, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan bahwa terdapat 973 isu hoaks terkait politik selama penyelenggaraan Pemilu 20199 (kominfo.go.id, 2/12/2019). Sedangkan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, Kominfo menemukan menemukan 47 isu hoaks yang tersebar di 602 sebaran konten pada platform digital (kompas.tv, 10/12/2020).
Salah satu persoalan yang menyebabkan maraknya penggunaan politik identitas yang disertai ujaran kebencian dan hoaks di media sosial pada pemilu karena aturan kampanye politik di media sosial masih memiliki banyak persoalan. Berdasarkan temuan penelitian The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) tentang “Penataan Kampanye Politik di Media Sosial untuk Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang Informatif dan Edukatif”, yang dilakukan awal tahun 2023.
Pada aspek hukum, penelitian ini menemukan beberapa hal yaitu, pertama, masih kurangnya kejelasan terkait konteks pelanggaran kampanye di media sosial. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk menafsirkan aturan hukum yang ada. Kedua, terdapat perbedaan antara KPU dan Bawaslu dalam menjelaskan pengaturan ihwal kampanye yang ada, termasuk kampanye di media sosial. Ketiga, persoalan bentuk dan mekanisme pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di media sosial yang masih kurang kuat.
Selain pada aspek hukum, penelitian ini juga melihat dalam konteks evaluasi implementasi kebijakan. Menurut Edward (1980), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu komunikasi; sumber daya; disposisi dan sikap; dan struktur birokrasi. Pada variabel komunikasi, implementasi kebijakan pengaturan kampanye di media sosial oleh KPU dan Bawaslu menemukan tantangan komunikasi karena struktur birokrasi yang berjenjang pada penyelenggara Pemilu, maka menyebabkan munculnya ketidaksamaan pandangan akibat proses sosialisasi yang tidak optimal.
Pada variabel sikap, tantangannya yaitu masih ada perbedaan penafsiran antara KPU dan Bawaslu terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu khususnya yang mengatur tentang kampanye di media sosial. Selanjutnya, pada variabel sumber daya ditemukan adanya tantangan faktor kewenangan. KPU saat ini hanya mengatur jumlah akun yang didaftarkan, namun belum mendorong keaktifan dari akun-akun yang didaftarkan tersebut. Hal ini penting, karena akun-akun tersebut hanya membangun komunikasi satu arah tanpa membangun interaksi dengan pengguna media sosial lainnya. Di sisi lain, penyebaran hoaks marak dilakukan oleh akun-akun bot.
Pada variabel ini, persoalan lain adalah masih minimnya jumlah sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan sarana prasarana yang dapat menunjang pengawasan kampanye di media sosial. Kemudia, terkait variabel birokrasi, hingga saat ini tidak ada divisi khusus yang menangani permasalahan kampanye media sosial. Hal inilah yang perlu ditekankan khususnya bagi Bawaslu agar dapat optimal mengawasi kampanye termasuk di media sosial agar tetap menaati peraturan.
Oleh karena itu, berdasarkan temuan di atas, penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi dari aspek hukum dan aspek implementasi kebijakan. Pada aspek hukum, pertama, diperlukan adanya peraturan teknis yang spesifik dalam menata kampanye di media sosial. Kedua, mendorong adanya kesamaan standar komunitas mengenai indikator penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian. Ketiga, mendorong Bawaslu untuk memperkuat sanksi administratif maupun sanksi lainnya terkait pelanggaran kampanye politik di media sosial.
Selanjutnya rekomendasi pada aspek implementasi kebijakan, pertama, KPU dan Bawaslu meningkatkan komunikasi untuk menyamakan persepsi dan harmonisasi peraturan tentang kampanye politik di media sosial. Kedua, KPU dan Bawaslu melakukan sosialisasi di segenap perangkatnya baik di pusat maupun daerah terkait peraturan tentang kampanye di media sosial untuk menyamakan persepsi, sikap, dan langkah dalam penerapan kebijakan, khususnya dalam menyediakan dukungan sumber daya yang memadai.
Ketiga, KPU, Bawaslu, dan Kominfo bersama masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya perlu meningkatkan literasi digital masyarakat. Keempat, KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan kolaborasi dengan masyarakat sipil, PSE media sosial, dan para pemangku kepentingan lainnya, untuk mensosialisasikan peraturan tentang kampanye politik di media sosial. Kelima, KPU melalui Biro Teknis Penyelenggaraan Pemilu, dan Bawaslu melalui Biro Fasilitasi Penanganan Pelanggaran Pemilu perlu mengoptimalkan sumber daya dan struktur birokrasi dan perangkat terkait lainnya, baik di pusat maupun daerah dalam rangka menjalankan peraturan mengenai kampanye politik di media sosial.
Bayangan kelam akan polarisasi dan ketegangan pada pemilu sebelumnya akibat maraknya ujaran kebencian dan hoaks harus dihilangkan. Penataan regulasi kampanye politik di media sosial diharapkan menjadi jawaban untu dapat menangkal ujaran kebencian dan hoaks dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, semoga.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)