Pada tanggal 15 Agustus yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 65/PUU-XXI/2023 menyatakan bahwa peserta pemilu boleh berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan tidak menggunakan atribut kampanye.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa ”Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, MK menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”. Dengan demikian, maka Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
Keputusan MK yang memberikan izin untuk dilakukannya kampanye di tempat pendidikan merupakan langkah maju dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Hal ini karena ada beberapa alasan. Pertama, kampanye di tempat pendidikan akan membuka kebebasan politik civitas akademika di lembaga pendidikan. Karena selama ini lembaga dan tempat pendidikan dijauhkan dari kehidupan politik.
Hal ini akibat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan yang dikeluarkan pada masa Pemerintahan Orde Baru ini dimaksudkan untuk membersihkan kampus dari kegiatan-kegiatan politik. Mahasiswa hanya diperbolehkan melakukan kegiatan politik dilakukan di luar kampus. Dampak dari kebijakan tersebut yang dirasakan hingga saat ini yaitu adanya kesenjangan antara civitas akademika dengan politik praktis di Indonesia. Civitas akademika seharusnya dapat mendorong gagasan pembangunan dan pembaharuan melalui partai politik.
Kedua, kelompok pemilih muda yang mendominasi dari jumlah pemilih pada Pemilu 2024. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024. Jumlah pemilih tetap mencapai 204.807.222 pemilih. Dari jumlah tersebut, sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari generasi milenial.
Sedangkan pemilih dari generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% dari total DPT Pemilu 2024. Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih. Kedua generasi ini mendominasi pemilih Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih.
Ketiga, untuk mejawab kebutuhan anak muda akan informasi kandidat. Terkait dengan banyaknya jumlah pemilih muda diatas. Hal ini memunculkan kebutuhan anak muda akan informasi terkait peserta pemilu. Berdasarkan temuan angket yang dilakukan oleh TII pada 8 – 31 Mei 2023, dari 165 responden, sebanyak 41.82 persen responden membutuhkan informasi terkait rekam jejak, visi, misi serta program yang ditawarkan oleh Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya, 18.18 persen membutuhkan informasi terkait Partai Politik peserta Pemilu dan visi, misi serta program yang ditawarkan. Kemudian, 17.58 persen membutuhkan informasi terkait rekam jejak calon anggota DPR RI; DPRD Provinsi; DPRD Kabupaten/ Kota. Temuan terkait kebutuhan informasi berkorelasi dengan masih tingginya angka jawaban responden yang menyatakan belum menentukan pilihan partai politik yang sebesar 42.42 persen serta belum menentukan pilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang sebesar 41.82 persen.
Berdasarkan temuan ini dapat tergambarkan bahwa hampir sebagian besar anak muda membutuhkan informasi peserta yang nanti akan berkontestasi dalam Pemilu 2024. Informasi ini dibutuhkan mereka untuk menjadi dasar keputusan mereka untuk memilih pada hari pemungutan suara 14 Februari 2023.
Akan tetapi, kampanye di tempat pendidikan pun butuh diatur dengan baik oleh penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU harus memperhatikan beberap hal seperti, pertama, pengaturan netralitas birokrasi bagi dosen maupun pengajar di lembaga pendidikan.
Sebelumnya, untuk menjaga netralitas birokrasi, pada 22 September 2022, Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan. SKB diterbitkan untuk menjamin terjaganya netralitas ASN pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di tahun 2024.
Kedua, KPU perlu mengatur tempat dan metode kampanye jika dalam pelaksanaanya terjadi penggunaan media sosial dan media dalam jaringan. Karena saat ini, perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat membawa perubahan dalam kegiatan belajar mengajar. Maka KPU sejogyanya mengantisipasi dan mengatur hal tersebut.
Berdasarkan paparan diatas, oleh karena itu perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, partai politik serta kandidat capres perlu didorong untuk memanfaatkan kampanye di lembaga pendidikan dengan memberikan pendidikan politik yang baik, memberikan informasi tentang visi, misi, dan program yang ditawarkan kepada civitas akademika khususnya mahasiswa. Ini juga menjadi kesempatan bagi partai politik untuk membuka kesempatan luas bagi mahasiswa untuk mengajak berkiprah dan berpartisipasi dalam politik secara signifikan.
Kedua, mendorong para partai politik serta kandidat capres untuk merespons isu-isu yang menjadi perhatian civitas akademika khususnya anak muda, seperti isu pendidikan, pemberantasan korupsi, dan lapangan kerja. Partai politik dan kandidat capres dapat merespon melalui kampanye yang informatif dan edukatif untuk menarik suara anak muda yang belum menentukan pilihannya.
Ketiga, KPU dan Bawaslu perlu memperjelas aturan untuk pengaturan dan pengawasan kampanye di lembaga pendidikan serta menyelaraskan peraturan-peraturan yang telah ada. Termasuk jika ada penggunan media sosial dan media jaringan dalam kegiatan kampanye di lembaga pendidikan. Keempat, Bawaslu perlu memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye di lembaga pendidikan, mengumumkan kepada publik secara berkala tentang kasus pelanggaran kampanye di media sosial dan mengeluarkan peringatan kepada peserta yang melanggar peraturan kampanye.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Reearch (TII)