Upaya Pengelolaan Aspirasi Badan Aspirasi Masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat di Tahun 2025

Penelitian ini menelaah efektivitas Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) sebagai alat kelengkapan baru di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam memperkuat partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) pada proses pembentukan undang-undang. Latar belakang kajian ini berangkat dari kebutuhan demokrasi Indonesia untuk memiliki mekanisme legislasi yang lebih terbuka, akuntabel, dan inklusif, di mana masyarakat memiliki hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan dalam setiap proses legislasi.

Sejak dibentuk pada periode DPR 2024, BAM diharapkan menjadi kanal baru dalam menampung, menelaah, dan menindaklanjuti aspirasi publik. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa BAM belum memiliki dasar hukum yang kuat dan mekanisme kerja yang jelas, sehingga fungsinya kerap tumpang tindih dengan alat kelengkapan dewan (AKD) lain dan Sekretariat Jenderal DPR. Akibatnya, pengelolaan aspirasi melalui BAM masih bersifat administratif dan belum memberikan dampak substantif terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan di DPR.

Kajian akhir tahun  di bidang hukum yang dilakukan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (The Indonesian Institute), INDONESIA 2025, terhadap laporan resmi DPR dan hasil wawancara dengan para ahli memperlihatkan bahwa BAM hanya memenuhi tahap awal partisipasi bermakna, yaitu hak untuk didengar. Sementara,  hak untuk dipertimbangkan dan dijelaskan belum terpenuhi secara konsisten. Aspirasi yang diterima sering kali berhenti pada tahap dokumentasi dan publikasi, tanpa ada mekanisme umpan balik yang jelas kepada masyarakat. Ketidakjelasan tanggung jawab antara BAM dan AKD terkait juga menyebabkan hilangnya rantai akuntabilitas dalam pengelolaan aspirasi publik.

Kajian ini merekomendasikan tiga langkah strategis. Pertama, DPR perlu mengamandemen Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan agar kewajiban menjelaskan hasil pembahasan kepada masyarakat bersifat wajib, bukan opsional. Kedua, anggota DPR harus aktif memanfaatkan hasil aspirasi dari BAM, AKD, dan Sekretariat Jenderal sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputuan di sidang paripurna. Ketiga, BAM perlu merumuskan mekanisme kerja yang inovatif dan berbasis teknologi informasi, dengan sistem umpan balik publik yang transparan dan terukur.

Selamat membaca.

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [862.46 KB]

Komentar