Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dan AI di Tahun 2024

World Economic Forum (WEF) baru saja merilis laporan berjudul “The Global Risks Report 2024” yang menjabarkan risiko yang dihadapi di tahun 2024 menurut para ahli yang disurvei. Adapun dua risiko teratas adalah cuaca ekstrem (66%) serta misinformasi dan disinformasi oleh AI (53%).

Terkait cuaca ekstrem, WEF menyatakan bahwa siklus El Niño diproyeksikan akan semakin intensif dan bertahan lebih lama hingga bulan Mei 2024. Cuaca ekstrem pun bahkan sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti angin puting beliung dan hujan deras di Kota Tangerang Selatan. Empat belas titik di tiga kecamatan di Kota Tangerang Selatan direndam banjir sehingga berdampak ke 1.330 KK di mana 75 KK sempat mengungsi akibat banjir ini (CNN Indonesia, 8 Januari 2024).

Secara umum, cuaca ekstrem yang semakin dieskalasi oleh perubahan iklim telah membebani ekonomi semua negara, terutama negara miskin dan berkembang. Biaya kerugian yang ditanggung akibat bencana terkait perubahan iklim pun mencapai miliaran dolar. Ekonomi dan masyarakat di Vanuatu, sebuah negara kepulauan di Samudera Pasifik, menderita karena badai topan ekstrem yang terjadi. Pertumbuhan ekonomi Vanuatu di tahun 2023 yang semula diperkirakan 3,6% turun menjadi 3% (penurunan 16,67%) dan dua pertiga dari total populasi Vanuatu terdampak akibat badan topan ekstrem ini (Counting the Cost 2023, Desember 2023). Hal ini menandakan perubahan iklim masih akan menjadi tantangan berat di tahun 2024.

Mengapa demikian? Sekretaris PBB António Guterres mengatakan bahwa dunia saat ini sudah pada fase pendidihan global dan bukan lagi pemanasan global. Apa bukti terjadinya pendidihan global? Tahun 2023 baru saja ‘dianugerahi mahkota’ sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah. Copernicus Climate Change Service (C3S) menyatakan bahwa suhu rata-rata global pada tahun 2023 adalah 0.17°C lebih tinggi dibandingkan tahun 2016, pemegang rekor tahun terpanas sebelumnya. Gas rumah kaca (GRK) juga mencapai rekor di mana karbondioksida mencapai 419 parts of million (ppm) dan metana mencapai 1.902 parts of billion (ppb).

Apa yang terjadi jika bumi semakin panas? Terjadi anomali cuaca yang memungkinkan musim panas menjadi semakin panas dan berlangsung lama. Salah satu dampaknya adalah gagal panen bagi petani beras, cabai, bawang merah, bawang putih di Indonesia. Alhasil, harga akan melonjak akibat kurangnya ketersediaan komoditas tersebut. Pemerintah akan semakin sulit di dalam mengendalikan inflasi di daerah walaupun tim pengendali inflasi daerah (TPID) sudah berkolaborasi dengan tim pengendali inflasi pusat (TPIP).

Perubahan iklim juga meningkatkan potensi pengasaman laut yang mana akan berpengaruh terhadap negara kepulauan seperti Indonesia. Pengasaman laut akan mengganggu keanekaragaman hayati laut dan memberikan dampak ganda bagi sosial ekonomi masyarakat pesisir, seperti pekerja di sektor pariwisata dan juga nelayan.

Bagaimana agar pendidihan global tidak semakin dalam? Pemerintah dapat mengupayakan transisi energi berkelanjutan dan berkeadilan dari energi fosil ke energi terbarukan. Memang pendanaan adalah kendala utama di dalam proses transisi energi berkelanjutan dan berkeadilan ini. Maka dari itu, salah satu upayanya adalah Pemerintah, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan, harus mampu mengajak sektor keuangan untuk mendukung pendanaan proyek-proyek hijau.

Risiko kedua menurut laporan WEF tersebut adalah terkait AI, seperti generatif AI, yang semakin meningkatkan potensi misinformasi dan disinformasi di era disrupsi digital saat ini. AI generatif adalah teknologi yang dapat menghasilkan berbagai jenis konten seperti teks, audio, maupun gambar (TechTarget, Desember 2023). Potensi penyalahgunaan AI untuk misinformasi dan disinformasi bisa dikatakan semakin terlihat di tahun 2024. Tahun 2024 adalah tahun pemilu terbesar sepanjang sejarah di mana kurang lebih 60 negara akan menyelenggarakan pemilu (Vox, 3 Januari 2024).

Laporan Freedom House dalam MIT Technology Review (4 Oktober 2023) menyatakan bahwa pemerintah dan politisi di sistem pemerintahan demokratis maupun otokratis menggunakan AI generatif ini untuk menabur keraguan, mencemarkan nama baik lawan, ataupun memengaruhi debat publik. Selain itu, AI ini juga digunakan untuk melakukan sensorship yang hasilnya adalah memperburuk kebebasan berpendapat. Uni Eropa pun mengundangkan UU AI guna memitigasi risiko-risiko yang ditimbulkan AI seperti di atas.

Oleh karena itu, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika harus semakin memperkuat literasi digital masyarakat Indonesia, memberikan sosialisasi terkait potensi manfaat dan kerugian AI, dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di dalam pemanfaatan teknologi digital seperti AI.

 

Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
rustawork@gmail.com

Komentar