Indonesia tengah digempur dengan teriakan yang menuntut perubahan dari Sabang hingga Merauke. Bukan hanya karena perkara tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi juga banyak isu kenegaraan lain seperti sempitnya ruang sipil untuk berpendapat dan menempati jabatan di pemerintahan, komitmen pemerintah terhadap korupsi yang tidak kunjung diperlihatkan taringnya, serta aspirasi publik yang belum menjadi pertimbangan mendasar dibentuknya produk hukum dan kebijakan.
Dalam menyuarakan gagasan, baik sebelum adanya demonstrasi besar Agustus-September, sivitas akademika baik mahasiswa maupun dosen serta tenaga peneliti lainnya memiliki peran penting. Lewat penelitian, diskusi, dan peran lainnya yang diciptakan di lingkungan perguruan tinggi, siaran yang diberikan perguruan tinggi seharusnya menjadi bantuan vital untuk kemajuan bangsa.
Akan tetapi, tidak sering mahasiswa dan dosen dibatasi saat menyampaikan gagasan dan kontribusinya karena alasan seperti kepentingan politik. Berdasarkan studi terbaru The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), bentuk pembatasan yang sering dilakukan adalah sanksi hukum dan administrasi, contohnya kriminalisasi, skorsing, bahkan dikeluarkan (The Indonesian Institute, 2025).
Pada saat pergerakan akhir bulan Agustus sampai dengan awal bulan September 2025 ini pun, tindakan represi semakin memasuki babak baru dengan penyerangan gas air mata ke area kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan. Saat itu, kedua area ini merupakan area tempat evakuasi dan penanganan media. Kepolisian Daerah Jawa Barat yang diwakili oleh Kombes Pol Hendra Rochmawan (2/9) meluruskan bahwa gas air mata yang masuk ke area kampus merupakan imbas tiupan angin. Namun, Kepala Unit Keamanan Kampus Unpas Rosyid (2/9) mengatakan dalam keterangannya bahwa ia menemukan bekas selongsong gas air mata di area kampus sejumlah 40 buah. Bahkan, salah satu kaca kampus pecah diduga karena terkena selongsong gas air mata (kompas.id, 2/9/2025).
Terdampaknya sivitas akademika di kampus dalam kejadian di atas dan banyak kasus lainnya yang sudah terjadi dalam bentuk pembatasan, menjadikan kebebasan akademik yang dimiliki sivitas akademika dalam keadaan terancam. Ruang yang seharusnya menjadi pusat inovasi dan kreativitas untuk membangun bangsa dan kemanusiaan justru dilukai dengan sejumlah tragedi yang dilatarbelakangi ketidaksukaan, hingga ketakutan terhadap kebenaran dan kebebasan yang dimiliki kampus.
Jika benar Indonesia masih memiliki visi Indonesia Emas 2045 yang ditandai dengan sumber daya manusia yang berkembang, kampus seharusnya menjadi salah satu prioritas tertinggi dalam penyelenggaraan kebijakan. Perguruan tinggi yang didukung secara maksimal akan menghasilkan terobosan yang bermanfaat untuk bangsa. Walaupun tidak semua kebenaran yang disampaikan oleh perguruan tinggi akan menguntungkan semua pihak, tetapi kebenaran berdasarkan pengetahuan yang disampaikan oleh perguruan tinggi tetap menjadi penting. Mungkin ditambah sedikit elaborasinya pentingnya suara perguruan tinggi dalam membangun bangsa dan dampak negatif dari sempitnya ruang kebebasan akademik (ketidakpercayaan , resistensi, dan belum terbangunnya ruang kemitraan antara pemerintah dan institusi akademik)
Tindakan pembatasan, pengancaman, atau bahkan pembahayaan terhadap sivitas akademika terkait suara dan produk yang mereka hasilkan hanya menunjukkan ketakutan akan kemajuan dan ketidakinginan untuk berkembang. Di masa di mana negara-negara lain berlomba membiayai dan menginkorporasikan temuan-temuan perguruan tinggi untuk kemajuan bangsa dan kemanusiaan, tindak represi yang dilakukan Indonesia justru malah berjalan kepada kemunduran.
Christina Clarissa Intania
Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute
christina@theindonesianinstitute.com
The Indonesian Institute Center For Public Policy Research