Wabah virus Corona atau Covid-19 telah berhasil mengguncang dunia. Dapat kita rasakan kepanikan melanda dunia saat ini. Dari negeri asalnya, perekonomian China diramalkan sejumlah lembaga akan turun 1 persen pada kuartal I-2020. Parahnya, efek ini bisa menyebar ke semua negara mitranya, termasuk Indonesia. Kita ketahui bersama, bahwa Cina merupakan salah satu pusat dari jaringan produksi atau hub dari production network. Tidak hanya itu, Cina juga memproduksi bahan pembantu atau barang modal bagi banyak negara di dunia. Dengan terganggunya perekonomian Cina, maka akan membawa efek domino terhadap produksi global (global supply chain) (Basri, 2020).
Selain dari sisi supply side, rontoknya ekonomi Cina juga membawa konsekuensi yang berat bagi Indonesia kuhusnya dari demand side. Bagi Indonesia, Negeri Tirai Bambu ini merupakan pasar terbesar bagi produk non-migas, pariwisata, hingga investasi. Terganggunya perekonomian Cina akan membawa berbagai gelombang disrupsi bagi ekonomi Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, mencatat bahwa share ekspor non-migas dari China sebesar 16,68 persen dari seluruh share ekspor non-migas ke seluruh mitra dagang Indonesia. Alhasil, dengan terganggunya ekonomi Cina akan membuat shock demand yang juga akan memukul sektor ekspor Indonesia.
Menurut Kuncoro (2020), dampak korona dikalkulasi dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional sampai 25 basis poin. Tidak mengherankan, jika Bank Indonesia (BI) dengan berat hati merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 5,1-5,5 persen dari 5,0-5,4 persen. Proyeksi ini masih lebih tinggi dibandingkan proyeksi World Bank, yang meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 4,5-4,8 persen. Bahkan ini pun masih jauh lebih baik dibandingkan prediksi terburuk yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh 0 persen. Alias tidak mengalami pertumbuhan sama sekali.
Untuk memitigasi perlambatan pertumbuhan ekonomi, BI melalui kebijakan moneternya pun ikut memancarkan sinyal positif untuk membantu sektor riil. Bulan Maret ini, BI kembali menurunkan suku bunga acuan (BI7-day Reverse Repo Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,50 persen sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Kemudian, giro wajib minimum (GWM) pun diturunkan dengan harapan likuiditas di pasar keuangan semakin berlimpah. Dalam logika BI, pemangkasan suku bunga acuan akan menurunkan suku bunga simpanan, yang kemudian menekan suku bunga kredit. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Putaran berikutnya ini akan meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi. Dan gaung tujuan akhirnya akan berdampak kepada percepatan pemulihan ekonomi nasional (Putri, 2016).
Sayangnya, menurut hemat penulis, stimulus yang dilakukan BI ini kurang efektif di tengah-tengah situasi pandemi seperti saat ini. Pertama, Menurut studi dari Tai, Sek, &Har (Tai N, 2012), secara garis besar di Indonesia, memiliki transmisi kebijakan dari suku bunga pasar uang ke suku bunga kredit dan deposito, membutuhkan waktu yang relatif lama dan memiliki size of pass-through yang kecil, jika dibandingkan di Malaysia dan Singapura. Menurut beberapa studi, dibutuhkan waktu sekitar 1,5 tahun untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan. Alhasil, manfaat penurunan suku bunga BI baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Tentu, ini tidak cukup efektif untuk mendorong stimulus perekonomian dalam jangka pendek.
Kedua, penurunan bunga acuan ini secara teoritis membawa konsekuensi yang tidak mudah. Bagi negara maju, penurunan bunga acuan tidak akan berdampak pada pelemahan nilai tukarnya. Hal ini didasarkan di tengah ketidakpastian global dan berguncangnya ekonomi dunia, investor akan bertahan memegang aset dalam denominasi mata uang yang aman dan negara maju seringkali menjadi pelabuhannya.
Sementara itu, bagi negara berkembang, jika pemangku kebijakan mengambil opsi penurunan suku bunga acuan, hal ini akan membuat pasar keuangan menjadi tidak kompetitif. Alhasil, para investor tadi mengalihkan asetnya ke negara yang memiliki suku bunga yang kompetitif dan aman. Buntut panjangnya, aliran dana yang akan keluar bisa semakin banyak dan menyebabkan makin melemahnya nilai tukar negara bersangkutan.
Secara empiris, dalam konteks Indonesia, hal ini sepertinya terbukti benar. Tercatat investor khususnya asing, berbondong-bondong melepas aset dalam rupiah dan mensubtitusinya dengan aset-aset berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS), yang dianggap asset aman. Dari catatan BI, nominal portofolio yang keluar dari Indonesia tercatat sebesar Rp30,8 triliun (year on year/yoy), dengan rincian: Surat Berharga Negara (SBN) Rp26,2 triliun, dan saham sebesar Rp4,1 triliun. Secara year to date, keluarnya asing di SBN sebesar Rp11 triliun dan saham Rp1,6 triliun (Investor Daily, 2020).
Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS erdepresiasi 11,3 persen hanya dalam tempo satu bulan dan digadangkan pelemahan kurs rupiah terdalam pasca krisis ekonomi tahun 1998. Bukti ini semakin melengkapi tesis di atas, bahwa stimulus moneter berupa penurunan bunga acuan alih-alih pertumbuhan ekonomi, justru bisa menjadi pematik pelemahan kurs yang semakin tajam. Dengan kondisi demikian, maka stabilitas Indonesia pun semakin rapuh.
Menurut penulis, kini sudah saatnya BI kembali mengemban tugas utamanya, yaitu untuk menjaga stabilitas ekonomi. Menaikkan suku bunga acuan adalah opsi yang perlu dipikirkan BI pada bulan selanjutnya. Secara teori, pertimbangan BI menaikkan suku bunga dapat dapat dipertimbangkan dari dua hal.
Pertama, inflasi. Jika kita lihat harga bahan pangan yang volatil sudah menunjukkan tren peningkatan. Mengutip data BI, secara tahunan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat sebesar 2,98 persen (yoy), meskipun sedikit meningkat dibandingkan dengan inflasi pada bulan Januari 2020, yaitu sebesar 2,68 persen. Akibatnya, tingkat inflasi ke depannya diperkirakan akan naik seiring dengan tersumbatnya sisi supply dan meningkatnya demand yang menyebabkan naiknya harga-harga komoditas secara umum.
Kedua, nilai tukar. Aksi jual-beli aset Indonesia dapat dipastikan masih akan terus terjadi seiring dengan semakin tingginya angka kasus positif Covid-19 di Indonesia. Alhasil, aksi-jual beli tadi membuat nilai tukar akan semakin tertekan. Seperti logika berpikir yang sudah disampaikan di atas, taruhannya jika BI masih terus menurunkan suku bunga, maka kestabilan nilai tukar menjadi harga yang harus dibayar oleh BI.
Sekali lagi, BI dihadapkan dengan kondisi trade-off, alih-alih tumbuh tidak stabil atau alih-alih stabil tapi tidak tumbuh adalah dua opsi yang harus ditentukan. Sebagaimana definisinya, economic is a science of choices. Oleh karena itu, BI harus secara masak-masak meramu kebijakan apa yang harus diambil dengan kalkulasi opportunity cost yang tepat. Jadi, bagaimana BI?
Rifki Fadilah
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
rifki@theindonesianinstitute.com