Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencabut larangan peredaran minyak goreng curah dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan yang semula akan diterapkan mulai dari 1 Januari 2022. Dengan adanya pencabutan larangan tersebut, minyak goreng curah dapat diperdagangkan. Hal tersebut disampaikan secara langsung oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan, pada konferensi pers virtual hari Jumat (10/2/2021). Penarikan larangan tersebut membuat kebingungan masyarakat di tengah kenaikan harga minyak goreng kemasan di pasar.
Sebagaimana kita diketahui bahwa minyak goreng merupakan salah satu bahan dalam proses pengolahan makanan. Tidak hanya dikonsumsi oleh rumah tangga sehari-hari, tetapi juga masuk dalam biaya variabel Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam bidang kuliner. Apabila dilakukan larangan peredaran minyak curah, maka kemungkinan besar pasar akan mengalami gejolak dalam harga bahan pokok. Terlebih, kondisi pandemi yang belum usai dan kondisi perekonomian yang masih dalam masa pemulihan telah membuat masyarakat merasa lebih terhimpit secara psikologis untuk pemenuhan kebutuhan.
Sebelumnya, perdebatan boleh atau tidaknya peredaran minyak goreng curah di pasar tetap terjadi. Salah satu pihak yang kecewa adanya pencabutan larangan peredaran minyak curah adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI memberikan pendapatnya bahwa konsumen berhak dilindungi dari produk minyak goreng bekas yang tercemar (republika.co.id, 13/12/2021)
Awalnya, pelarangan edaran minyak goreng curah sudah direncanakan sejak tahun 2019 lalu, dan akan diterapkan pada tahun 2020. Namun, penerapan di tahun 2020 dibatalkan, dan pada saat implementasinya pada tahun 2021 juga dibatalkan. Artinya, kebijakan larangan yang simpang siur tersebut kemungkinan terjadi salah satunya karena adanya tekanan dari produsen minyak curah.
Pihak lain yang merasa kecewa karena pembatalan larangan edaran minyak goreng curah adalah Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Dikutip dari Republika.co.id (14/12/21), kekecewaan tersebut disampaikan karena para pelaku industry minyak nabati telah berinvestasi dalam jumlah besar agar siap untuk memproduksi minyak goreng kemasan. Terlebih lagi, usulan rencana larangan minyak goreng curah sudah dimulai sejak tahun 2010 lalu.
Apabila dilihat dari sisi produsen, GIMNI mengalami kerugian secara materil karena sudah terlanjur membeli mesin untuk memproduksi minyak goreng kemasan. Adanya larangan peredaran minyak goreng curah di pasar akan meningkatkan permintaan pada minyak goreng kemasan. Sehingga, GIMNI sudah memperhitungkan biaya-manfaat akibat ada peraturan menteri.
GIMNI juga menambahkan bahwa konsumsi minyak goreng curah memiliki dampak pada kesehatan masyarakat. Berbeda dengan minyak goreng kemasan yang sudah terjamin dari segi kualitas dan kejelasan produsennya. Konsumsi asam lemak trans dari minyak atau lemak nabati yang dihidrogenesasi sebagian guna memadatkan minyak atau lemak mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan, seperti penyakit jantung, kanker, diabetes mellitus, liver, hipertensi, dan kolesterol (tempo.co, 30/11/2021)
Alasan Pencabutan Larangan Perdagangan Minyak Goreng Curah
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, menjelaskan secara garis besar ada dua alasan pencabutan larangan peredaran minyak curah di pasar. Alasan tersebut adalah masih tingginya harga minyak kelapa sawit mentah/ crude palm oil (CPO) dan kondisi Indonesia yang masih dalam masa pemulihan ekonomi (liputan6.com, 13/12/2021).
Adanya kondisi supercycle mengakibatkan kenaikan pada harga kebutuhan pokok. Penyebabnya adalah adanya kenaikan permintaan yang tidak sesuai dengan penawaran yang mencukupi. Salah satu komoditas yang terdampak adalah minyak goreng yang bahan utamanya merupakan CPO.
Harga CPO internasional berkisar USD1.305 per ton atau mengalami peningkatan 27,17 persen dibandingkan harga awal tahun 2021. Kenaikan harga CPO memicu harga minyak goreng kemasan sebesar Rp19.500 per liter dan harga minyak goreng curah Rp17.600. Kenaikan harga minyak goreng kemasan maupun curah tersebut terjadi secara bertahap semenjak kuartal I-2021.
Pencabutan larangan peredaran minyak goreng curah merupakan langkah pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasokan dan kebutuhan minyak goreng dalam negeri sekaligus menjaga daya beli masyarakat yang terdampak pandemi. Badan Pusat Statistik menunjukkan daya beli masyarakat mulai tumbuh pada kuartal II-2021 sebesar 5,93 persen dibandingkan kuartal II-2020 secara year-on-year. Pemerintah mengupayakan untuk tetap membiarkan masyarakat memilih barang untuk pemenuhan kebutuhannya sehari-hari terutama bagi masyarakat ekonomi rentan.
Rekomendasi
Adanya simpang siur kebijakan yang telah diterbitkan Kementerian Perdagangan menunjukkan perlunya pembenahan dalam perumusan kebijakan sebelum diedarkan secara luas Pengkajian kebijakan harus dilihat dari banyak sudut pandang. Adanya pelarangan edaran minyak goreng curah di pasar otomatis menguntungkan industri minyak nabati yang lebih besar dan merugikan masyarakat ekonomi kelas bawah yang hanya mampu membeli minyak goreng curah baik untuk pemenuhan hidup sehari-hari maupun untuk UMKM.
Kemudian, Kementerian Kesehatan bersama para pemangku kepentingan terkait perlu memerhatikan lebih lanjut dampak penggunaan minyak goreng curah terhadap kesehatan masyarakat yang membahayakan. Untuk itu, edukasi ke masyarakat perlu dilakukan secara bertahap untuk penggunaan minyak goreng curah yang sesuai takaran penggunaan harian.
Selain itu, Kementerian Perdagangan bersama dengan lembaga perlindungan konsumen juga perlu bersama-sama mengawasi pasar agar produsen minyak goreng curah wajib memenuhi standar mutu dan perlindungan konsumen. Perlu ada peraturan yang jelas dan penegakan hukum yang tegas agar pasar dapat bekerja dengan sehat dan memenuhi kepentingan beragam pemangku kepentingan secara optimal.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nurirestic@theindonesianinstitute.com