Tak Henti Bicara Harga Pangan

Kita sudah memasuki bulan Ramadhan atau sering juga disebut bulan puasa. Bulan di mana umat muslim menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh setiap tahunnya. Fenomena yang sama juga setiap tahunnya adalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Tak dipungkiri, ada kebiasaan di masyarakat kita untuk menyajikan makanan yang berbeda dan cenderung berlebihan untuk dikonsumsi selama bulan puasa. Hal inilah kemudian yang diyakini menjadi salah satu penyebab kenaikan pelbagai bahan pokok.

Selain permintaan yang meningkat, ulah sebagian oknum yang menimbun bahan kebutuhan pokok sehingga menimbulkan kelangkaan, juga menjadi salah satu penyebab kenaikan harga tersebut. Oknum di sini bisa jadi dari sisi pedagang dan juga dari sisi konsumen yang takut harga akan makin naik dan bahan yang dibutuhkan kosong di pasaran.

Menyikapi hal ini, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan juga Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) menyatakan bahwa ketersediaan bahan pangan di pasaran aman.

Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman mengatakan, keberhasilan pertanian Indonesia dalam menghadapi badai el-nino yang melanda sejumlah daerah di tanah air membuat stok pangan nasional aman hingga tahun 2019 mendatang (republika.co.id, 11/04).

Sementara itu Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, mengatakan harga pangan selama Ramadhan hingga lebaran akan aman. Terlebih dengan intervensi Kementerian Perdagangan dalam penetapan harga produk tertinggi (akurat.co,17/05). Misalnya Kementerian Perdagangan menetapkan harga gula Rp. 12.500, harga minyak goreng kemasan sederhana Rp. 11.000 dan harga daging Rp 80.000. Namun kenyataanya, harga-harga di lapangan lebih tinggi dari angka yang ditetapkan pemerintah tersebut. Misalnya harga daging cenderung di harga Rp 120.000 per kilo gramnya (kompas.com, 20/05) dan begitu juga dengan harga-harga bahan pangan lainnya.

Hal lainnya yang dilakukan pemerintah untuk mengintervensi harga pasar adalah dengan melakukan operasi pasar. Artinya menyebar bahan pokok yang disimpan di gudang pemerintah ke pasaran.

Kebijakan ini dilematis, karena harga memang relatif turun, tapi pedagang lain di pasaran yang sudah terlanjur membeli bahan jualan dengan harga tinggi, mengalami kerugian, karena dipaksa menurunkan harga jual mereka mengikuti harga bahan pemerintah yang lebih murah.

Menurut penulis, kegiatan operasi pasar itu ibarat gula-gula saja untuk masyarakat. Artinya hanya untuk meredam kekecewaan masyarakat akan melambungnya harga. Dalam praktek pembuatan kebijakan, kebijakan ini hanya akan terasa manfaatnya sesaat, tidak ada dampak dalam jangka panjang serta tidak berkelanjutan.

Kebijakan yang perlu diambil pemerintah dalam menyikapi atau malahan sebelumnya, mengantisipasi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok menjelang puasa adalah memastikan ketersediaan bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut sepanjang tahun. Caranya, bukan hanya mengenjot produksi di dalam negeri tetapi juga membuka keran impor untuk produk-produk yang bersangkutan.

Hal yang penting kemudian adalah pengawasan, bagaimana pelaku impor bahan pangan pokok ini tidak memonopoli dan melakukan kegiatan impor tanpa melalui proses-proses yang koruptif. Hal ini perlu, wajar dan tidak akan mencederai ‘ke-Indonesiaan”, karena tujuan utamanya adalah menyediakan kebutuhan pangan masyarakat.

Penulis: Lola Amelia, lola@theindonesianinstitute.com

 

Komentar