Dari 16 parpol peserta Pemilu, hanya satu parpol yang tak memiliki daftar caleg bekas napi koruptor yaitu PSI. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menilai, fakta hanya PSI satu-satunya parpol yang tak mendaftarkan caleg mantan koruptor menjadi pukulan telak bagi parpol besar, karena PSI adalah partai baru.
“Kita layak apresiasi PSI. Ada partai kecil dan digagas anak muda dan sering dipandang sebelah mata tapi mampu mencegah caleg mantan napi koruptor, bandar narkoba dan pelecehan seksual. Ini pukulan telak bagi parpol-parpol lain. PSI bisa kalah suara tapi bisa menang secara moral,” kata Ray Rangkuti dalam diskusi yang diselenggarakan Komite Pemilih Indonesia (TePI) di D’Hotel, Setiabudi, JakartaSelatan, Senin (30/7).
Ray mengatakan tujuan Pemilu adalah mencari orang yang amanah. Dia pun menilai parpol yang tetap mencalonkan bekas koruptor menjadi caleg berkhianat terhadap tujuan Pemilu.
Dia berharap parpol berkomitmen dengan Pakta Integritas yang telah ditandatangani untuk tidak mencalonkan bekas koruptor.
“Kita minta komitmen partai khususnya mereka yang berkoar-koar melawankorupsi. Kita di publik harus dorong itu. Jangan sampai muncul tragedi KPK nangkap tiap minggu yang disalahin KPK. Anda masukin orang jahat ya ditangkap. Coba kalau masukin orang baik,” sindirnya.
Apresiasi terhadap PSI juga disampaikan peneliti The Indonesian Institute, Fadel Basrianto. Parpol-parpol besar menurutnya harus merasa terpukul dengan apa yang dilakukan PSI ini.
“Partai baru, kecil, PSI selain merekrut caleg dari non koruptor juga melakukan filter sangat serius dengan cara mendatangkan tokoh-tokoh penting yang capable dan melakukan seleksi caleg yang akan maju ke DPR maupun DPRD. Parpol besar harus merasa terpukul dengan hadirnya PSI yang kecil tapi benar-benar serius melakukan perannya sebagai parpol,” jelasnya.
Parpol yang tetap mencalonkan kader bekas napi korupsi akan menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap parpol.
“Kalau ke depan KPU masih meloloskan mantan napi korupsi, publik akan semakin jengah, tak percaya pada parlemen dan implikasinya tak akan percaya pada demokrasi. Publik tak akan memiliki sense of belonging terhadap lembaga demorkasi,” katanya.
Sumber: Merdeka.com