Tak Ada Kabar Soal Pekerja Anak di Indonesia

Tanggal 12 Juni lalu diperingati sebagai World Day against Child Labor atau Hari Internasional Menentang Pekerja Anak. Secara global, isu ini cukup menjadi perdebatan dengan fakta bahwa masih terdapat 152 juta pekerja anak di dunia, dan 7 dari 10 pekerja anak tersebut berada pada sektor agrikultur.

Pekerja anak di atas didefinisikan sebagai pekerjaan yang dilakukan dengan usia di bawah batas minimum. Anak pun harus dilindungi dari bentuk-bentuk fenomena pekerja anak terburuk, seperti rekrutmen di daerah konflik, eksploitasi sosial maupun perdagangan obat-obatan terlarang. Tak ayal lagi, pekerja anak memberangus masa perkembangan anak dan berbahaya dari aspek fisik maupun mental.

Menurut Survei Pekerja Anak (SPA) tahun 2009, Indonesia masih menghadapi fenomena serius tersebut dengan fakta bahwa masih terdapat 1,7 juta pekerja anak di antara 4,05 juta anak-anak yang dianggap bekerja dari sekitar 58,8 juta anak di Indonesia usia 5-17 tahun.

Pada tahun 2017, proporsi pekerja anak tersebut mengalami penurunan. Dengan rasio 1,5 persen pekerja anak dari total populasi anak yang menyentuh angka 84,4 juta jiwa, dapat dikatakan saat ini masih terdapat 1,2 juta pekerja anak di Indonesia. Para pekerja anak tersebut tidak mendapatkan pendidikan dan memiliki lama jam kerja yang beragam, mulai dari satu jam sampai 97 jam seminggu (Berita Tagar, 21/7/18).

Praktik mempekerjakan anak tersebar di berbagai sektor. Di konteks pedesaan, distribusi terbesar terletak pada sektor pertanian dengan angka 60 persen, diikuti oleh sektor industri dan perburuhan sebesar 18 persen, perdagangan sebesar 10 persen, jasa sebesar 3,5 persen, dan lainnya sebesar 9,5 persen.

Sedangkan, di perkotaan, angka terbesar terletak pada sektor industri (operator dan buruh) sebesar 31,3 persen, diikuti dengan sektor perdagangan dengan angka 23 persen, sektor jasa dengan angka 14,6 persen, sektor pertanian sebesar 11,3 persen, dan sisanya 19,8 persen lain-lain. Belum lagi, jika membahas mengenai kompleksitas di masing-masing subsektor dan karakteristik daerah di Indonesia.

Tingginya angka pekerja anak tersebut bukan tanpa sebab. Berdasarkan artikel jurnal bertajuk Child Labour in Indonesia: Supply-Side Determinants (2016), faktor ekonomi menjadi determinan utama. Angka tersebut meningkat di daerah pedesaan. Kerentanan ekonomi diperburuk dengan melihat  latarbelakang pendidikan orang tua. Hal ini kemudian mempengaruhi seorang anak dapat terjebak dalam lingkaran pekerjaan pada usia anak. Di beberapa daerah, hal tersebut semakin kompleks dengan faktor geografis yang berpengaruh terhadap akses terhadap pendidikan. Pada akhirnya, fenomena pekerja anak menjadi persoalan yang terus berkelindan.

 

Pengentasan Pekerja Anak di Indonesia

Walaupun demikian, komitmen mengentaskan fenomena pekerja anak di Indonesia terus digalakkan. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menformulasi Peta Jalan (Roadmap) Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022.

Melalui peta jalan tersebut, terdapat empat program aksi meliputi regulasi dan penegakan hukum, pendidikan dan pelatihan, perlindungan sosial dan kebijakan pasar kerja. Selain itu, muatan pembagian kerja dan koordinasi lintas pemangku kepentingan pun didefinisikan mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, institusi agama, pasar kerja sampai masyarakat.

Dari peta jalan tersebut, perlu tindak lanjut yang jelas. Mengembalikan anak ke dunia pendidikan, terutama pendidikan vokasi sesuai dengan pasar kerja, tentu telah menjadi langkah yang tepat. Namun, ke depannya, tataran kebijakan perlu mempertimbangkan kompleksitas di masing-masing daerah di Indonesia, dengan melihat sebaran fenomena pekerja anak maupun subsektor yang digeluti.

Hal ini untuk melihat kerentanan yang lebih besar, baik dari sisi geografis, sosio-budaya maupun gender sehingga dapat menformulasi strategi yang tepat untuk membangun kesadaran dan menerapkan kebijakan yang ada.

Selain itu, fenomena pekerja anak pun membutuhkan intervensi berbasis masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya di daerah. Dalam hal ini, berbagai aktor kepentingan di masing-masing wilayah perlu menstimulasi kesadaran bahwa fenomena ini perlu mendapatkan perhatian sehingga dapat menjadi prioritas dalam pembuatan program aksi di tingkat dasar, seperti melalui Dana Desa. Dengan berbagai rekomendasi tersebut, diharapkan angka pekerja anak dapat menjadi minimal sehingga hak-hak anak untuk berkembang dan memperoleh pendidikan dapat tercapai dengan baik.

 

Nopitri Wahyuni, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, nopitri@theindonesianinstitute.com

Komentar